JAKARTA | GlobalEnergi.co – Proses pembebasan lahan untuk pembangunan proyek kilang baru atau new grass root refinery (NGRR) di Tuban, Jawa Timur, ditargetkan selesai akhir 2020. Saat ini Pertamina menyatakan proses pembebasan lahan untuk proyek tersebut telah mengalami kemajuan.Pembayaran untuk pembebasan lahan dipastikan rampung pada akhir tahun ini.
Direktur Utama Pertamina Kilang Internasional Ignatius Tallulembang mengatakan capaian penting perusahaan sampai akhir tahun ini salah satunya terkait pembebasan lahan untuk proyek Kilang Tuban.
“Sebagian besar sudah dibayarkan dan ditargetkan selesai seluruhnya akhir 2020,” kata Ignatius dalam acara CNBC Indonesia, Senin (14/12).
Proses pembangunan Kilang Tuban sebelumnya berjalan cukup alot. Sebab, masih ada beberapa warga setempat tak ingin melepaskan lahannya. Bahkan, Presiden Joko Widodo pada akhir tahun lalu sempat menyinggung persoalan ini. Jokowi meminta agar konflik terkait lahan dapat segera diselesaikan dalam waktu tiga bulan.
Ignatius menjelaska pemulihan garis pantai atau restorasi untuk Kilang Tuban juga telah rampung pada tahun ini. Secara paralel, Pertamina juga telah melakukan pelaksanaan basic engineering design (BED) yang telah mencapai 80% dan front end engineering design (FEED).
Sebelumnya, Corporate Secretary Sub Holding Refining & Petrochemical (PT Kilang Pertamina International) Ifki Sukarya mengungkapkan sejumlah progres pengerjaan kilang. Kilang Tuban berada pada tahap penyusunan dokumen perancangan dasar.
“Sudah mencapai 78% dan diharapkan selesai awal Februari 2021,” katanya.
Proyek ini pun telah mendapatkan partner, yaitu Rosneft asal Rusia. Bahkan keduanya juga telah membentuk perusahaan patungan. Melansir situs Komite Percepataan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, kapasitas produksi Kilang Tuban bakal mencapai 300 ribu barel per hari. Perencanaan pembangunannya menggunakan konfigurasi petrokimia, terintegrasi dengan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan pembangunan kilang minyak penting untuk segera direalisasikan. Selain untuk ketahanan energi nasional, juga untuk meningkatkan bahan bakar minyak yang berkualitas. Apalagi saat ini kilang dalam negeri hanya mampu menghasilkan produk bahan bakar minyak atau BBM dengan kualitas emisi berstandar Euro 2.
“Kualitasnya harus meningkat dan itu butuh biaya besar,” ujarnya.
Terintegrasi dengan Petrokimia
Kebutuhan BBM untuk sektor transportasi diperkirakan tidak akan hilang dalam 25 tahun ke depan. Namun, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memperkirakan konsumsinya akan melandai setelah 2025 apabila penetrasi kendaraan listrik alias EV di pasar domestik terimplementasi dengan baik.
Pemerintah telah menargetkan 20% dari total penjualan otomotif merupakan kendaraan listrik pada 2025. Artinya, perhitungan kebutuhan BBM di masa depan perlu dihitung ulang. Termasuk pula kebutuhan kilangnya.
“Usia ekonomis kilang cukup panjang, investasinya mahal, pengembalian investasinya lama, dan marginnya pun rendah,” kata Fabby pekan lalu.
Jangan sampai kilang yang nantinya dibangun tingkat utilisasinya rendah. Apalagi, ada pula target produksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030. Ketika Pertamina selesai membangun kilang, sebelum target tersebut terealisasi, bisa jadi perusahaan akan kesulitan mendapat pasokan minyak mentah.
Karena itu, program pembangunan kilang harus terintegrasi dengan petrokimia agar lebih ekonomis ke depannya. Pasalnya produk yang dihasilkan dari minyak mentah sangat banyak turunannya.
Fabby pun mengatakan potensi bisnis dari pengembangan kilang terintegrasi masih cukup menjanjikan. Kebutuhan bahan baku petrokimia dapat mencapai 5,6 juta ton per tahun dan sekitar 55% masih produk impor. (ktd)