Menatap Net Zero Emission Tahun 2060

oleh -359 views
oleh

Seperti diketahui, target Indonesia menjadi negara dengan net zero emission (NZE) pada 2060. Dengan kenyataan ini, sudah pasti perlu diiringi dengan ekstra effort mengingat kendala yang harus dihadapi dalam proses transisi energi tidak sederhana. Energi Baru Terbarukan (EBT) yang diharapkan pada 2025 baurannya mencapai 23% pada 2025, tampaknya masih terseok-seok.

Salah satu kendala utama yang RI hadapi adalah mismatch atau ketidakcocokan antara permintaan dan pasokan terhadap energi baru terbarukan (EBT). Ketidakcocokan itu menyebabkan harga energi terbarukan menjadi mahal dibandingkan dengan sumber lain seperti batu bara yang cukup tersedia di Tanah Air.

Logika energi terbarukan yang dibangun adalah energi yang bersih, tapi murah. Itu yang diperlukan Indonesia dalam transisi energi ini. Sementara itu, energi matahari (solar) yang notabene relatif lebih murah masih belum didukung oleh teknologi storage listrik dalam jumlah besar.

Pertanyaannya, bagaimana dengan transisi energi. Kalau melihat inisumber energi berupa gas dan nuklir menjadi penting dalam fase transisi energi di Tanah Air. Di sisi lain, penggunaan teknologi co-firing dengan bio massa untuk mengurangi pembakaran batu bara di PLTU yang masih beroperasi perlu diupayakan. Di samping langkah pemerintah melakukan pensiun dini PLTU batubara.

Dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi tersebut, target RI untuk mencapai NZE pada 2060 agak kurang realistis. Diperlukan waktu lagi bagi Indonesia dalam mengatasi kendala yang ada dan mengoptimalkan pembangunan EBT dalam rangka transisi energi.

Sebenarnya potensi EBT di Indonesia mencapai 3.686 GW. Rinciannya, energi surya sebesar 3.295 GW, hidrogen 95 GW, bioenergi 57 GW, bayu 155 GW, panas bumi 24 GW, dan laut 60 GW. Karena potensi melimpah dan beragam itu, sebenarnya pengembangan EBT di Indonesia sangat menarik.

Seperti diketahui, pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025. Namun, berdasarkan data di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM, capaian bauran EBT masih di 15 persen per Juli 2023. Dengan kenyataan ini pemanfaatannya masih jauh.

Mengapa demikian? Ini tak lain terkait dengan investasi yang belum memuaskan. Pada 2023 ini investasui di sektor EBT tidak mencapai targetnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat investasi sektor Energi Baru dan Terbarukan (EBT) mencapai USD 1,17 miliar atau sekitar Rp 18 triliun per November 2023. Realisasi ini baru 64,94 persen dari target USD 1,802 miliar sepanjang tahun 2023. Dengan kenyataan ini, sudah pasti mempengaruhi capaian EBT. Padahal, target-target tersebut untuk dipacai menjadi penting, agar net zero emission (NZE) pada 2060 terlaksana pula.

Stagnannya investasi di sektor EBT harus kita sama-sama cermati, karena kita punya cita-cita untuk terus meningkatkan pemanfaat EBT ini dimasa-masa mendatang. Jadi investasi ini menjadi penting untuk mengeksplor potensi EBT yang kita miliki untuk kemakmurean rakyat dan terpenting agar kita bisa mencapai udara bersih yang kita sama-sama impikan.

Lalu bagaimana agar Indonesia bisa mencapai bauran energy sesuai yang dicanangkan? Inilah yang menjadi hal penting untuk kita mencarikan jalan keluarnya. Terutama yang terkait dengan mengapa investasi di sektor EBT tak mencapai target, terutama di tahun 2023?

Aturan-aturan yang dalam menjalankan pemanfaatan EBT harus benar-benar membuat investor menanamkan investasi di sektor EBT di Indonesia. Misalnya harga jual listrik dari pembangkit panas bumi misalnya, yang hingga kini masih dinilai mahal. Persoalan ini hingga saat ini pun rasanya belum terselesaikan.

Juga demikian dengan Revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2021 mengenai mekanisme aturan dan pengawasan PLTS Atap serta ekspor impor listrik yang mendapat sorotan dari kalangan pebinis energy surya atap. Mereka menilai pada dasarnya adanya revisi Permen ini akan “membunuh” minat masyarakat untuk memasang PLTS Atap on-grid atau yang tersambung ke grid PLN.

Tetapi, apa yang akan masyarakat lakukan? Karena bisa dikatakan masyarakat itu pada umumnya sangat picky (sangat memilih), begitu dia melihat suatu kemungkinan itu ditutup, dia akan mencari peluang atau open opportunity yang lain, dan open opportunity yang lain itu adalah off-grid.

Hal-hal seperti diatas tersebut merupakan riak-riak yang dapat menggangu sektor EBT mengalami kelambatan dalam pengembangannya. Untuk itu, para pemangku sektor EBT untuk duduk bersama lagi, menata perencanaan, program hingga aplikasi di lapangan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.