Berharap Panas Bumi Lewat Holding

oleh -592 views


Di saat tingkat konsumsi listrik menurun akibat pandemic covid-19, menyeruak kabar, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan membangun holding panas bumi terbesar di dunia. Bahkan holding tersebut akan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Proyek fantastis ini mendapat dukungan berbagai kalangan, karena energi yang mempunyai potensi besar ini masih lamban pemanfaatannya. Mengingat hingga saat ini, persoalan efisiensi, khususnya harga jual listrik panans bumu masih menyelimutinya. Atau pemerintah bersama DPR-RI sudah menyiapkan kebijakan baru untuk kemajuan, sehingga bisnis tersebut menjadi bergeliat? Lihat saja.

Oleh : ERFANDI PUTRA

Panas bumi diyakini bakal menjadi salah satu sumber penting penyediaan energi listrik di masa depan. Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) ini menjadi bagian penting guna menekan penggunaan energi berbasis fosil yang pada saatnya akan habis juga.

Berdasarkan catatan terbaru Badan Geologi, potensi panas bumi di Indonesia sebesar 23,9 gigawatt (GW) hingga Desember 2019. Data pada Kementerian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (Kementerian ESDM), Amerika Serikat menduduki posisi pertama untuk sumber daya panas bumi terbesar, yakni mencapai 30.000 megawatt (MW).

Disusul Indonesia 23.965,5 MW (23,9 GW), kemudian Jepang 23.400 MW, Kenya 15.000 MW, dan di posisi kelima yaitu Islandia 5.800 MW. Adapun total sumber daya panas bumi dari 10 pemilik cadangan panas bumi terbesar di dunia mencapai 118.185,5 MW.

Di sisi pemanfaatan panas bumi menjadi sumber listrik, posisi pertama tetap diduduki oleh Amerika Serikat dengan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 3.676 MW. Lalu Indonesia di posisi kedua dengan kapasitas 2.130,7 MW. Disusul Filipina 1.918 MW, Turki 1.526 MW, dan di posisi kelima yaitu Selandia Baru sebesar 1.005 MW. Adapun kapasitas terpasang PLTP di 10 negara terbesar yaitu 15.345,7 MW.

Panas bumi bagian penting dalam pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Pemerintah memiliki target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 mendatang. Hanya saja, target tersebut agak sulit dicapai bila tidak ada langkah-langkah positif untuk menggarap energi tersebut. Khususnya panas bumi yang memang kita memiliki potensi besar.

Data di Kementerian ESDM menyebutkan, realisasi kapasitas terpasang pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan hingga 2020 mencapai 10.467 megawatt. Ada tambahan 95 MW pembangkit EBT pada tahun lalu. Tambahan kapasitas pembangkit EBT 2020 di antaranya dari PLTA Poso sebesar 66 MW, PLTBm Merauke sebesar 3,5 MW, PLTM Sion sebesar 12,1 MW dan PLTS Atap sebesar 13,4 MW.

Hingga saat ini, kapasitas pembangkit EBT masih didominasi oleh pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang mencapai 6.121 MW, disusul oleh pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang mencapai 2.130,7 MW, pembangkit bioenergi 1.903,5 MW, pembangkit bayu 154,3 MW, pembangkit surya 153,5 MW, pembangkit hybrid 3,6 MW.

Pemerintah telah berkomitmen untuk mencapai target bauran sebesar 23 persen pada 2025. Oleh karena itu, pemerintah akan terus mendorong pemanfaatan EBT. Pada tahun 2021 ditargetkan total kapasitas terpasang EBT akan menjadi 12.009 MW.

Sementara berdasarkan Peraturan Presiden No.22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dengan target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025 dalam kebijakan energi nasional, maka kapasitas penyediaan pembangkit listrik EBT pada 2025 harus sekitar 45,2 GW dan 2050 sekitar 167,7 GW.

Namun sayangnya, target tersebut hingga kini masih jauh dari kondisi realitas saat ini. Berdasarkan data Kementerian ESDM, total pembangkit listrik EBT hingga 2020 baru mencapai 10.467 MW, hanya bertambah 176 MW dari 2019 yang sebesar 10.291 MW.

Pada 2021, pembangkit listrik EBT pun ditargetkan naik menjadi 12.009 MW. Meski ditargetkan ada peningkatan 1.542 MW pada tahun ini, namun ini masih jauh dari target RUEN yang mencapai 45,2 GW pada 2025. Kalau pun mengacu pada kebijakan energi nasional, 23% dari target total pembangkit listrik 115 GW pada 2025, artinya pembangkit EBT harus mencapai 26.450 MW, tetap lebih dari dua kali dari kapasitas terpasang saat ini. Artinya, dibutuhkan tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT sekitar 16 ribu MW hingga 2025 mendatang.

Padahal, berdasarkan data Kementerian ESDM, total potensi energi baru terbarukan di dalam negeri mencapai 417,8 GW, terdiri dari potensi laut 17,9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, bayu 60,6 GW, hidro 75 GW, dan surya 207,8 GW.

Holding Panas Bumi
Seperti diketahui, energi panas bumi merupakan energi terbarukan yang telah mulai dikembangkan selama hampir 100 tahun di Indonesia. Pengeboran sumur panas bumi pertama di Kamojang telah dilakukan oleh Kolonial Belanda sejak 1926 dan PLTP pertama telah beroperasi sejak tahun 1983.

Namun, pengembangan energi panas bumi tidak terlalu signifikan karena belum dapat bersaing dengan pembangkit berbahan bakar fosil yang relatif murah. Di tengah menipisnya produksi dan ketersediaan bahan bakar fosil, perkembangan teknologi di bidang EBT telah membuat biaya pengembangan Pembangkit EBT terus menurun dan dapat bersaing dengan pembangkit berbahan bakar fosil.

Lalu muncullah kabar bahwasanya Kementerian BUMN tengah menyelesaikan penggabungan tiga perusahaan untuk menjadi satu dalam holding panas bumi. Ketiga perusahaan itu, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT PLN Gas & Geothermal (PLN GG), dan PT Geo Dipa Energi yang diprediksi akan selesai tahun ini. Direncanakan holding perusahaan pelat merah ini untuk melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Wakil Menteri BUMN Pahala N Mansury mengatakan, dengan menggunakan aset ketiga perusahaan pelat merah itu, pemerintah bermaksud untuk membentuk badan usaha pengelola panas bumi terbesar di dunia dengan kapasitas terpasang terbesar. “Gabungan perusahaan tersebut akan menjadi terbesar di dunia dalam installed capacity pembangkit panas bumi,” kata Pahala.

Rencana penawaran umum perdana (IPO) saham holding BUMN panas bumi itu, menurut Bloomberg akan mencapai 500 juta dollar AS atau sekitar Rp 7 triliun jika mengacu pada kurs Rp 14.000. Adapun, rencana IPO itu guna memuluskan rencana sebagai perusahaan panas bumi terbesar di dunia.

Sumber Bloomberg menyebutkan bahwa ketiga perusahaan itu sedang menyelesaikan urusan dengan konsultan untuk menyelesaikan kerja sama dalam waktu tiga bulan. Potensi penjualan saham perdana dari entitas hasil merger bisa dilakukan di Jakarta paling cepat akhir tahun ini. Sumber itu menyebutkan bahwa hingga saat ini proses diskusi tengah berlangsung untuk membahas detail ukuran dan penjadwalan rencana itu.

Nantinya, holding itu akan mengoperasikan kapasitas pembangkit 1.022,5 megawatt (MW). Pada 2019, Indonesia memiliki 2,1 (GW) kapasitas terpasang panas bumi. Indonesia menargetkan kapasitas terpasang dari panas bumi sebesar 7,2 GW pada 2025 sebagai bagian dari upaya untuk memenuhi bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen.

Selain itu, rencana IPO itu akan bergabung dengan PT Sanhiang Perkasa, PT Kalbe Farma, dan Archi Indonesia yang tengah mangantre dalam proses pencatatan sahamnya di BEI. IPO tersebut akan mendorong pasar Indonesia menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Pasalnya, sepanjang tahun ini Indonesia telah mencatatkan nilai IPO sebesar 110 juta dollar AS, terpaut tipis dari total sepanjang tahun lalu senilai 157 juta dollar AS.

Rencana pendirian holding ini cukup mengejutkan, karena sepanjang 2020, konsumsi listrik dikabarkan di masa pandemi menurun hingga 10 persen. Bahkan, secara khusus penurunan penggunaan listrik menurun 18 persen di Bali. Hanya saja tingkat konsumsi ini diperkirakan akan naik lagi, seiring dengan membaiknya perekonomian.

Perlu Kajian Mendalam
Berbagai kalangan menyebutkan, dengan dibentuknya holding akan mampu meningkatkan efisiensi di sektor terkait dan mendorong pertumbuhan industri panas bumi yang saat ini masih jauh dari potensi. Potensi yang menempatkan Indonesia nomor 2 di dunia setelah Amerika Serikat tersebut, merupakan potensi bagi negara ini dalam hal penyediaan energi.

“Rencana pembentukan holding BUMN Panas bumi yang digagas oleh Kementerian BUMN sebagai upaya uapaya membangun perusahaan panas bumi terbesar di dunia, saya kira perlu disambut baik agar menghasilkan sinergisitas yang lebih baik. Walau pun upaya ini pernah dilakukan antara Pertamina dan PLN ketika melakukan kajian tahun 1990-an untuk membentuk PT Panas Bumi Indonesia. Hasil kajian nya juga sudah ada, tapi urung dibentuk. Bahkan lapangan untuk dijadikan usaha bersama kala itu juga sudah ada,” kata Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma kepada Global Energi, Senin (15/3/2021).

Namun sejak krisis ekonomi 1998 yang berujung pada arbitrase international dan pemerintah kalah, akhirnya dilakukan upaya negosiasi dengan penyelesaian diluar pengadilan. Muncullah perusahaan Geodipa Energy sebagai anak perusahaan Pertamina dan PLN yang sekarang sudah menjelma menjadi BUMN khusus dibawah Menteri Keuangan. Geodipa itu adalah anak perusahaan Pertamina dan PLN, yang diharapkan sebagai pengganti pembentukan PT Panas Bumi Indonesia (PT PI).

Hanya saja, kata Surya, yang juga menjabat Board Of Director The International Geothermal Asscociation (IGA) mulai 2007 sampai sekarang mengatakan, kegiatannya tidak sebagaimana diharapkan. Manajemennya dilaksanakan oleh mayoritas PLN dan sebagian Pertamina, sementara saham yang terbesar dipegang oleh Pertamina. Niatnya agar perusahaan berjalan dengan baik, dan cepat. Namun ternyata juga tersendat-sendat karena banyak baktor, termasuk komitmen para pemegang saham yang kelihatannya belum sepenuh hati.

Ia mengatakan, ketika sekarang muncul lagi wacana itu, kita perlu sambut agar pengembangan panas bumi Indonesia dapat lebih cepat lagi. Mengapa? Karena PLN yang menjadi single buyer ada di dalamnya. Terpenting, ini juga dinakhodai oleh Menteri BUMN yang selama ini juga ditengarai belum memberikan dukungan sepenuhnya dengan upaya memanfaatkan panas bumi yang lebih besar. Kini Menteri BUMN akan membangun perusahaan panas bumi terbesar di dunia.

“Kami sudah pasti menyambut positif ci-cita ini,” tegas Surya.

Tentu saja upaya ini masih ada masalah lain yang harus dijernihkan terkait isu rencana IPO terhadap anak usaha Pertamina. Hanya saja, dia yakin, hal itu pasti sudah diperhitungkan dengan matang oleh Menteri BUMN. Terutama untuk bisa mendapatkan respon yang baik dari pasar.

Perusahaan yang akan IPO adalah yang memiliki nilai pasar yang baik. Diantara anak usaha Pertamina yang memiliki kontribusi positif dan juga punya masa depan yang baik adalah PT PGE. Sebagaimana diketahui, busines PGE adalah panas bumi yang merupakan energi terbarukan yang memiliki potensi pasar yang baik di era menuju pada era energi terbarukan. “Belum lagi panas bumi bisa dimanfaatkan tidak hanya untuk listrik yang memiliki kehandalan tinggi. Di samping itu, juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti pariwisata, green house, produk pertanian dan lain,” kata Surya yang juga mantan Ketua Umum Panas Bumi Indonesia (API) pada 2008-2011 itu.

Dikatakan, mobil listrik sudah mulai mengaspal di Indonesia. Ini juga membutuhkan listrik dan baterai, fluida panas bumi juga mengandung unsur mineral lithium yang menjadi unsur pendukung produk baterai. Karena itu, tidak salah lagi jika panas bumi akan menjadi unggulan dan punya prospek.pasar yang baik bagi usaha. Prospek ini tentu saja punya nilai jual yang baik. Sampai saat ini, PGE memang menjadi perusahaan nasional yang kompeten, fokus dan juga terbesar dalam energi panas bumi. Sedangkan anak usaha yang lain juga punya prospek yang segmennya juga berbeda.

“Bertolak pada kenyataan inilah, jika masuk ke pasar pasti akan mendapat sambutan positif. Walapun, sebetulnya bagi negara, kita khawatir jika di IPO. Jangan terulang kasus Indosat yang lama kelamaan akan mengecilkan peran Indonesia,” katanya.

Lebih lanjut, Surya mengatakan, persoalan holding itu berhasil atau tidak, memang sebelum dieksekusi, perlu ada kajian mendalam dan niat baik dari seluruh pemegang saham perusahaan-perusahaan yang selama ini mengembangkan panas bumi. Pertamina yang sudah punya pengalaman panjang dan punya daya tahan yang luar biasa dalam mengembangkan panas bumi, perlu diapresiasi dan diberi peran yang lebih besar lagi. Jangan ada kesan justru akan dikebiri secara perlahan-lahan.

Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang dimiliki besar dan banyak, harus didorong untuk berperan lebih besar dan lebih cepat lagi tentu saja dengan dukungan kementerian BUMN dan kementerian keuangan sebagai BUMN milik pemerintah. Semua perusahaan yang akan digabung itu harus ada share hodler agreement yang konsisten termasuk adanya oin development agreement.

Investasi Besar
Surya juga mengatakan, mengembangkan panas bumi butuh dana investasi yang besar. Karena itu, jika tidak hati-hati akan menggeser posisi dari aset negara menjadi aset milik swasta secara perlahan lahan.

“Sebenarnya saya lebih cenderung agar masukkan investasi itu tidak harus melalui IPO, tapi bisa juga dalam bentuk kerjasama operasi. Sudah banyak perusahaan asing atau dalam negeri yang ingin melakukan kerjasama dengan PGE,” katanya.

Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau geothermal membutuhkan investasi yang cukup besar. Selain itu pengembangannya juga memiliki risiko yang tinggi. Baik terkait eksplorasi maupun risiko operasional. “Memang pengembangan panas bumi agak sulit di awal, tetapi akan sangat mudah setelah dioperasikan karena biaya pemeliharaan yang kecil dan dapat berlangsung untuk waktu yang lama. Oleh karena itu, Surya menyebut, perlu ada perusahaan yang memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk mengembangkan panas bumi.

Perusahaan yang mampu secara finansial dan teknis itu memang tidak banyak. Karena itu, selama ini perusahaan yang betul-betul terjun dalam bisnis panas bumi adalah perusahaan yang punya kemampuan finansial dan mau mengambil risiko-risiko besar tersebut.

“Saya melihat dengan adanya holding panas bumi ini merupakan angin segar bagi dunia panas bumi di Indonesia. Kita hanya berharap agar holding tersebut menjadi kenyataan,” katanya.

Terkait dengan adanya wacana pembentukan Holding BUMN Panas Bumi, memang bisa saja terjadi jika BUMN yang ada saat ini dipandang perlu untuk meningkatkan kinerja. Sebaiknya memang harus dipilih perusahaan yang punya pengalaman panjang dan aset besar yang jadi holding dan yang lainnya jadi anak usaha.

Bisnis panas bumi ada di upstream, midstream dan down stream. Jika ada holding, maka kegiatan midstream bisa masuk dalam bisnis anak usaha, demikian juga di hilir yang selama ini dilakukan PLN. Karena itu, group usaha PLN bisa masuk dikelompok itu.

Untuk midstream, bisa saja PT Rekin yang selama ini banyak menggarap EPC bisa masuk dalam group panas bumi sebagai anak usaha lain. Mungkin nanti perlu juga ada BUMN yang fokus untuk pemanfaatan langsung panas bumi yang non listrik agar fokus.

Saat ini potensi ini tidak ada yang menggarapnya. Padahal panas bumi yang sangat besar potensi ini dapat dilakukan oleh masing-masing badan usaha dengan spesifik fokus kegiatan yang berbeda, termasuk maintenance jika diperlukan. Ini semuanya punya peluang bagus. Jika holding panas bumi dibentuk, tentu saja PGE akan lepas dari Pertamina. Kecuali panas bumi jadi sub-holding, yang masih bisa dalam group Pertamina yang jadi holding.

Geo Dipa, tentu akan kembali seperti dulu akan menjadi anak usaha holding panas bumi dengan tugas khusus SPV dari kementerian keuangan.

Ganjalan Harga?
Lalu bagaimana anggapan orang yang mengatakan tidak berkembangkan EBT, karena harga jual listriknya yang masih mahal? Tentang ini Surya mengatakan, adalah keliru jika masyarakat berpandangan bahwa harga energi terbarukan itu mahal termasuk panas bumi. Penilaian dan persepsi itu agak keliru atau kurang tepat bila kita melihat secdara utuh.

Mengapa? Tentang ini dia mengatakan, kita tidak pernah menghitung harga energi itu berdasarkan nilai keekonomian dari tiap energi termasuk energi terbarukan yang dipergunakan untuk membangkitkan listrik.

Selama ini yang dibandingkan lebih banyak karena energi terbarukan yang dihasilkan dari proyek-proyek skala kecil dibandingkan dengan proyek-proyek energi fosil dengan skala lebih besar. Belum lagi ada faktor lain seperti kelengkapan infrastruktur, dan jenis teknologi dari tiap jenis energi yang dipergunakan.

Tiga unsur ini tentu saja akan sangat mempengaruhi harga energi baik itu energi terbarukan maupun energi fosil. Sementara itu, ada faktor lain yang selama ini juga tidak pernah dipernah diperhitungkan dalam mengkalkulasi harga energi. Seperti harga lingkungan, harga keberlanjutan energy, karena energi fosil yang habis dan tidak dapat dapat diperbaharui dan lain-lain. Karena itu, akan sangat tidak fair jika kita hanya membandingkan harga energi dari pola perhitungan dan asumsi yang tidak sama.

Hal yang sama tentu saja akan dialami oleh pembangkit listrik yang berasal dari panas bumi. Jika unsur-unsur itu dimasukkan, maka nilai panas bumi dibandingkan dengan batu bara yang digembar gemborkan murah itu ternyata jauh lebih mahal. Pernah ada studi yang dilakukan JICA Jepang tahun 2008 mengatakan bahwa benefit panas bumi untuk skala kapasitas 60 MW saja itu harganya hanya 8.7 cent/kwh dibandingkan dengan harga batubara yang mencapai 17cent/kwh jika semua unsur itu dimasukkan (seperti dampak lingkungan dan lainnya).

Sebetulnya, kata Surya, harga energi listrik dari panas bumi itu relatif stabil dibandingkan dengan energi fosil lainnya yang cenderung bisa berubah dari waktu ke waktu dan itu dapat mengancam ketahanan energi Indonesia. “Karena itu, kami melihat bahwa menyebutkan harga energi terbarukan mahal, bisa menjadi salah satu faktor untuk menghambat pengembangan energi terbarukan,” katanya.

Padahal kebijakan kita adalah membuat harga energi secara nasional itu harus di baurkan dengan berbagai sumber energi yang ada. Dengan demikian, selain memberikan ketahanan energi yang kuat, tetapi juga akan menghasilkan harga energi mix yang optimum.

Di sini, peran pemerintah akan sangat kuat dalam memberikan jaminan dari setiap energi primer yang ada untuk dapat dikembangkan secara optimum. Lihat saja kebijakan energi nasional. Kebijkana itu dibuat secara komprehensif, dengan prioritas pada energi terbarukan, kemudian energi bersih lain seperti gas, baru kemudian minyak bumi dan batu bara. Bahkan nuklir pun ditempatkan sebagai prioritas terakhir. Hal ini yang harus jadi acuan pada setiap implementasi yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Karena itu, untuk memberikan daya tarik bagi para investor karena keterbatasan dana dalam mengembangkan energi terbarukan termasuk panas bumi, maka perlu peran pemerintah yang kuat dan agresif untuk mendorong pemanfaatan panas bumi yang potensinya cukup besar.

Perlu regulasi yang pro pada energi terbarukan dan panas bumi. Rencana pemerintah dan DPR akan melahirkan UU Energi Terbarukan perlu didorong untuk cepat direalisir dan subsatnasinya juga jangan dicampur dengan energi lainnya agar lebih fokus.

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Prijandaru Effendi mengatakan, pengembangan panas bumi nasional selama ini mengalami stagnansi atau jalan di tempat lantaran terkendala masalah harga jual listrik ke PLN sebagai satu-satunya penyerap listrik panas bumi. Para pengembang berharap bisa menjual listrik ke PLN dengan harga sesuai keekonomian proyek. Itu sulit terjadi. PLN juga tidak bisa membeli listrik dengan harga tinggi, karena nantinya listrik yang dijual ke masyarakat juga sudah ditetapkan pemerintah.

Timbulnya gap atau disparitas inilah yang menjadi hambatan fundamental terhadap proyek-proyek panas bumi di Tanah Air. “Disparitas ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah harus hadir untuk menjembatani disparitas harga ini,” kata Prijandaru, dalam diskusi di CNBC TV Indonesia, Senin (1/3/2021).

Penah pemerintah mencoba menutup disparitas harga ini dengan mengucurkan subsidi. Saat ini, pemerintah hanya bisa menawarkan insentif untuk mengurangi biaya pengembang. Bagi para pengembang, insentif yang diberikan tidak selalu bisa membuat pengembang mencapai keekonomian proyek.

“Kalau tidak ada terobosan luar biasa, kita akan begini terus. Ini sayang karena kita ada cadangan besar, tetapi tidak mampu menggunakannya karena masalah harga,” ungkap Prijandaru.

Ia mengatakan, eksplorasi panas bumi di awal proyek yang membutuhkan biaya yang besar membuat pengembang kesulitan. Apalagi, tingkat kegagalan eksplorasi mencapai 50 persen.“Kami terus mencari terobosan untuk turunkan cost dan risiko sehingga bisa menekan harga, dan ini belum berhasil, karena disparitas harga masih terjadi,” kata dia.

Soal insentif ini, Surya mempunyai pandangan bahwasanya hal tersebut hanya menjadi penambah daya tarik agar berbagai hambatan dan nilai keekonomian panas bumi bisa meningkat. Hadiah insentif itu bisa diberikan. Bisa juga tidak tergantung dari mana kita melihat. Jika ingin menurunkan harga agar dapat harga rendah, maka perlu insentif yang dapat menurunkan harga dari aspek fiskal.

Sebaliknya, kata Surya, jika ingin ada kepastian waktu dalam berusaha, perlu ada insentif juga dalam proses perizinan, pembebasan lahan dan lain-lain. Tetapi jika masyarakat konsumen sudah lebhmampu dari sisi ekonomi, maka biarkan saja harga ditentukan sesuai pasar. Yangperlu diberikan jaminan oleh pemerintah adalah kepastian hukum dan kepastian berusaha.

Pendongkrak
Menurut Surya, kita jangan hanya melihat kebutuhan energi itu jangka pendek. Apalagi panas bumi, untuk pengembangannya butuh waktu lama, sehingga jika keputusan yang dibuat itu telat, maka hasilnya akan jauh lebih terlambat lagi. Sebaiknya justru, energi terbarukan itu harus dijadikan penggerak dan pendongkrak pemulihan ekonomi nasional pasca covid-19. Banyak sekali tenaga kerja yang akan terserap baik lansgung maupun tidak langsung dalam pengembangan panas bumi.

“Saya juga ingin koreksi soal persepsi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dan Energi Terbarukan (ET). Ini sering masyarakat dan kalangan akademisi juga membuat persepsi yang keliru. Seolah-olah jika berbicara energi terbarukan itu selalu disingkat dengan EBT. Padahal EBT itu adalah selain energi terbarukan juga ada energi baru yang termasuk di dalamnya adalah energi fosil dan nuklir,” kata Suryama.

Jadi yang mau kita dorong itu enrgi terbarukan sebagai lazimnya didunia atau kita ingin dorong juga energi baru dari fosil dan nuklir? Jika ini tidak dibetulkan, maka kiat akan semakin salah arah mengembangkan energi terbarukan dimasa depan. Karena itu, dalam koteks pertanyaan ini, maka khusus energi terbarukan.

Jika energi terbarukan (ET), ke enam kluster ET itu (Air, panas bumi, angin, bienergi, energi matahari dan energi laut) masing-masing punya kelebihan masing-masing. Mungkin peran energi laut saja yang masih agak tertinggal. Kalau yang lain sudah sangat siap termasuk teknologi dan imlementasinya. Apalagi energi matahari yang semakin murah secara saat ini dan pemasangannya tidak butuh waktu lama.

Carbon Pricing
Yang menjadi pertanyaan bagaimana agar panas bumi ini bisa bergeliat dan potensi yang ada bisa dieksplor. Memang rencana pendirian holding panas bumi diharapkan dapat menggeliat. “Pendirian holding panas bumi yang digagas Kemenerian BUMN merupakan angin segar bagi dunia energi panas bumi. Saya hanya menyarankan apa yang selama ini menjadi kendala yang menyelimuti energi ini dapat terselesaikan,” kata Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Ir. Satya Widya Yudha, M.Sc kepada Global Energi, Senin (15/3/2021).

Dia mengatakan, potensi panas bumi Indonesia menduduki peringkat kedua dunia setelah Amerika Serikat (AS). Satya mengatakan dengan potensi panas bumi di Indonesia yang sangat besar, yakni mencapai 23,9 ribu gigawatt (GW) atau 40 persen dari potensi dunia, tentunya harus dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan bangsa, terutama sebagai sumber energi listrik.

Dengan hadirnya holding tersebut sudah pasti akan mendatangkan efisiensi. Ini menjadi penting, karena akan ada market share yang tumbuh. Dengan demikian, nantinya akan melahirkan usaha yang positif. Terutama dalam pengembangan panas bumi ke depannya.

Satya juga mengatakan, masih rendahnya capaian panas bumi selama ini dikarenakan persoalan harga jual listrik panas bumi ke PLN. “Hanya saja yang perlu dicatat, kalau holding ini nanti kan dalam pengerajaan skala besar. Dengan demikian diharapkan bisa menekan harga jual. Terpenting ini kan dikerjakan oleh BUMN. Jadi kepentingan masa depan yang menjadi perhitungannya,” kata Satya.

Sebenarnya, soal harga sangat tergantung kepada besaran investasi. Karena dengan investasi yang besar akan dapat menggunakan teknologi yang modern, sehingga diharapkan bisa menekan harga. Seperti halnya PT Geo Dipa Energi yang bisa menjual listrik dari panas bumi dengan harga kisaran 7 cent dollar AS per kilo Watt hour (kWh).

“Selama ini umumnya yang ditawarkan investor itu kisaran 8-9 cent dollar AS. Bahkan ada yang lebih besar. Cukup berat PLN untuk menerimanya. Karena itu, cukup banyak potensi panas bumi yang belum termanfaatkan. Sementara PLN dengan menggunakan batubara hanya mengeluarkan di bawah 6 cent dollar AS. Ini kan jauh. Sekali lagi inilah yang menjadi alasan pengembangan panas bumi ini menjadi lambat,” katanya.

Namun demikian, bila dibandingkan dengan sumber energi lainnya, terutama sumber energi yang cenderung dipasok melalui impor seperti bahan bakar minyak (BBM), maka harga listrik panas bumi ini masih jauh lebih murah. Harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) mencapai 20 sen dollar per kWh.

Sementara, pengembangan panas bumi yang termanfaatkan hingga akhir 2020 baru mencapai 2.130,7 megawatt (MW). Capaian tersebut berada di bawah angka yang ditargetkan di tahun lalu sebesar 3.109,5 MW dan tentu masih sangat jauh dari target yang ditetapkan hingga 2025 yang sebesar 7.239 MW.

Mantan Ketua Komisi VII DPR RI ini mengatakan, pihaknya menunggu paparan dari pemerintah terkait dampak positif dan negatif pembentukan holding tersebut, serta manajemen holding dengan adanya rencana melepas saham ke pasar (IPO). Termasuk apakah holding ini mampu menekan biaya produksi listrik panas bumi menjadi lebih kompetitif.
Bertolak pada kenyataan ini, mengusulkan agar pemerintah menerapkan carbon pricing kepada industri yang mengeluarkan carbon. Penetapan tarif emisi karbon atau carbon pricing diperlukan untuk menghindari dampak buruk dari pemanasan global. Dia optimis, dengan penerapan carbon pricing itu, industri yang menggunakan batubara, terutama PLN akan berfikir ulang.

Disamping itu, penerapan carbon pricing itu juga berdampak positif kepada lingkungan. Peningkatan suhu 1,5 derajat Celcius saja dapat berdampak pada perubahan lingkungan yang permanen. Peningkatan suhu 1 derajat Celcius saja, , dapat menyebabkan naiknya permukaan laut, cuaca lebih ekstrim, hingga berkurangnya es di laut Arktik. Sementara, aktivitas manusia berpotensi meningkatkan 1,5 derajat Celcius antara 2030-2052.

“Penerapan carbon pricing itu diharapkan berdampak positif pada penggunaan litrik yang berasal dari panas bumi. Sudah pasti hal ini akan saya usulkan kepada pemerintah untuk menjadi bahan pertimbangan agar investasi di sektor panas bumi bisa bergeliat,” katanya.

Jangan Ulangi Indosat
Sejumlah kalangan mulai memberikan masukan. Siapa yang pantas memimpin Holding ini. Tentang ini Satya Widya mengatakan, PGE, anak usaha PT Pertamina Power Indonesia (PPI) subholding power and new renewable energy Pertamina, paling pantas memimpin perusahaan induk (holding) panas bumi tersebut. Ini cukup beralasan, karena selain kinerja keuangan moncer, PGE juga memiliki sumber daya manusia di sektor panas bumi paling mumpuni ketimbang PT Geo Dipa Energi dan PLN Gas and Geothermal.

Berbagai indikator telah memberikan gambaran tersebut. Seperti dari neracanya. Luasan wilayah kerja (WK). Jumlah pembangkit listrik panas bumi (PLTP). Solvabilitas hingga SDM-nya. PGE adalah badan usaha terdaftar yang bertanggung jawab secara hukum dengan pengurus lengkap, ada Dewan Komisaris dan BoD, namun neracanya di konsolidasikan ke PT Pertamina (Persero).

Sementara, laporan keuangan publikasi, pada 2019, PGE memiliki asset sebesar 2,57 miliar dollar AS atau naik dari 2,55 miliar dollar AS dibandingkan periode tahun sebelumnya. Adapun penjualan sebesar 666,88 juta dollar AS atau naik dari 660,83 juta dollar AS pada 2018. Sementara itu, laba bersih malah turun dari 107,32 juta dollar AS pada 2018 menjadi 95,56 juta dollar AS pada 2019.

Sementara itu, kinerja sebaliknya justru diperlihatkan oleh Geo Dipa. Pada 2019, Geo Dipa mencatatkan penjualan Rp 794,14 miliar, naik dari 2018 yang mencapai Rp 783,55 miliar dan 2017 sebesar Rp 742,18 miliar. Namun, laba perusahaan mengalami fluktuasi. Pada 2019 mencapai Rp 138,48 miliar, turun dari Rp 170,38 miliar pada 2018 dan Rp 132,48 miliar pada 2017. Di sisi lain, beban pokok penjualan (COGS) Geo Dipa cenderung naik, dari Rp 392,6 miliar pada 2017, menjadi Rp 420 miliar pada 2018 dan Rp 464 miliar pada 2019. Namun asset perusahaan naik tipis dari Rp 3,54 triliun pada 2017 menjadi Rp 3,67 triliun pada 2018 dan Rp 3,75 triliun pada 2019.

Hingga kini kapasitas terpasang pembangkit listrik PGE tercatat 672 megawatt (MW) dengan pengelolaan lima area panas bumi. PGE juga operator di tiga proyek pengembangan dan tiga lapangan eksplorasi panas bumi. PGE mengelola 12 wilayah kerja pengusahaan dan dua wilayah kerja izin panas bumi. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan 2019 total aset PGE tercatat sebesar 2,58 miliar dollar AS.

Adapun Geo Dipa saat ini memiliki dua pembangkit listrik panas bumi (PLTP), yaitu PLTP Dieng berkapasitas 60 megawatt (MW) yang tersambung ke jaringan Jawa-Madura-Bali melalui sistem interkoneksi. Selain itu, untuk memenuhi target usaha, Geo Dipa juga meningkatkan serta pengembangan kapasitas proyek Dieng 2 dan 3, masing-masing berkapasitas 55 MW.

Selain Dieng, Geo Dipa juga memiliki PLTP berkapasitas 60 MW di Gunung Patuha. Saat ini Geo Dipa memformulasikan rencana pengembangan PLTP Patuha Unit 2 dan Unit 3 masing-masing dengan kapasitas 55 MW yang merupakan pengembangan Proyek Patuha Unit 1.

Surya juga menyarankan agar perusahaan yang punya pengalaman panjang di sektor panas bumi dan memiliki aset besar yang jadi holding dan yang lainnya jadi anak usaha. Apalagi bisnis panas bumi meliputi tiga sektor, yaitu upstream, midstream, dan down stream. Menurut Surya, jika ada holding, kegiatan midstream bisa masuk dalam bisnis anak usaha, demikian juga di hilir yang selama ini dilakukan PLN. Karena itu, grus PLN bisa masuk di kelompok tersebut.

“Untuk midstream, bisa saja PT Rekind (PT Rekayasa Industri) yang selama ini banyak menggarap PEPC (PT Pertamina EP Cepu) bisa masuk dalam grup panas bumi sebagai anak usaha lain,” ujarnya.

Ia mengatakan, rencana pembentukan holding panas bumi oleh Menteri BUMN perlu disambut baik agar menghasilkan sinergisitas yang lebih baik. Walaupun upaya ini pernah dilakukan antara Pertamina dan PT PLN (Persero) ketika melakukan kajian tahun 1990-an untuk membentuk PT Panas Bumi Indonesia. “Hasil kajiannya juga sudah ada, tapi urung dibentuk. Bahkan, lapangan untuk dijadikan usaha bersama kala itu juga sudah ada,” ujar mantan Direktur Operasi PGE ini.

Surya menjelaskan, sejak krisis ekonomi 1998– yang berujung pada arbitrase international dan pemerintah kalah– dilakukan upaya negosiasi dengan penyelesaian diluar pengadilan. Muncullah perusahaan Geo Dipa Energi sebagai anak perusahaan Pertamina dan PLN yang sekarang sudah menjelma menjadi BUMN khusus dibawah Menteri Keuangan.

“Geo Dipa itu adalah anak perusahaan Pertamina dan PLN, yang diharapkan sebagai pengganti pembentukan PT Panas Bumi Indonesia (PT PI). Hanya saja kegiatannya tidak sebagaimana diharapkan,” ungkap Surya kepada Dunia Energi.

Dia menambahkan, manajemen Geo Dipa Energi cenderung dilaksanakan oleh mayoritas PLN dan sebagian Pertamina. Sementara itu, saham yang terbesar dipegang oleh Pertamina. “Niatnya agar perusahaan berjalan dengan baik, dan cepat. Namun ternyata juga tersendat-sendat karena banyak faktor, termasuk komitmen para pemegang saham yang kelihatannya belum sepenuh hati,” ujarnya.

Harus Matang
Kasus bocornya pipa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), PT Sorik Marapi Geothermal Plant (SMGP) di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Senin siang, 25 Januari 2021, sekitar pukul 11.00 WIB menewaskan 5 orang menjadi perhatian Komisi VII, DPR-RI. Karena itu, Komisi VII, memberikan catatan khusus terhadap kejadian ini. Terutama bila dikaitkan dengan rencana lahirnya holding panas bumi.

“Saya sudah mendengar akan lahirnya holding panas bumi yang digagas Kementerian BUMN itu. Hanya saja, saya akan memberikan catatan khusus untuk pendiriannya. Mengapa? Jangan sampai kejadian di Sumatera Utara itu terulang lagi,” kata Hj. Ratna Juwita Sari, S.E., M.M., anggota Komisi VII, DPR-RI kepada Global Energi, Minggu (14/3/2021).

Politisi asal PKB ini mengatakan, memang untuk EBT yang paling memungkinkan untuk dikembangkan saat ini, yakni tenaga surya dan panas bumi. Pasalnya, potensi kedua EBT tersebut di Indonesia memang besar. “Saya sendiri menyambut positif akan lahir holding panas bumi yang katanya nantinya merupakan perusahaan terbesar di dunia. Hanya saja, saya akan memberikan catatan-catatan,” katanya.

Catatan apa itu? Tentang ini dia mengatakan, kasus kebocoran pipa PLTP, PT Sorik Marapi Geothermal Plant (SMGP) di Desa Sibanggor Julu harus menjadi pelajaran berharga. Apa artinya? Ya, kalau holding itu benar-benar didirikan, maka kita harus lebih hati-hati lagi. Jangan sampai hal itu terjadi lagi. Holding nantinya harus memikirkan hal tersebut.

Untuk itu, katanya, kita harus benar-benar siap. Misalanya punya perencanaan yang jelas. Juga sumber daya manusia (SDM) apa sudah mumpuni. Di sini pentingnya transfer knowlage dan lainnya.

Dia menyadari, lambannya perkembangan panas bumi di tanah air ini karena kebijakan yang ada tidak sepenuhnya mensuport. Terutama dalam hal masalah harga jual listrik yang dihasilkan oleh panas bumi. “Dari Komisi VII, Rancangan UU EBT terus dikebut. Dengan harapan, dapat menjawab apa yang menjadi keluhan terhadap lambannya penggunakan panas bumi ini,” katanya

Kapan UU EBT tersebut bisa rampung? “Doakan saja, setelah lebaran tahun ini, UU EBT Insya Allah sudah clear,” pungkasnya.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.