JAKARTA I GlobalEnergi.co – Dewan Energi Nasional (DEN) menyebutkan energi nuklir merupakan salah satu sumber energi bersih yang ramah lingkungan. Selama ini banyak terjadi kesalahan persepsi tentang nuklir.
Anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha menilai banyak kesalahan persepsi yang berkembang di masyarakat mengenai energi nuklir. Padahal, energi nuklir bisa menjadi sumber energi berkelanjutan.
Penggunaan energi nuklir yang tidak menggunakan proses pembakaran sehingga pencemaran CO2 dan NH4 tidak menjadi isu. Dengan demikian, energi nuklir bisa dikategorikan sebagai energi yang bersih dan ramah lingkungan.
“Mengenai isu keselamatan, sampai saat ini masyarakat selalu melihat tentang apa yang terjadi di Chernobyl dan di Fukushima. Inilah yang perlu diluruskan tentang apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal itu bisa terjadi,” kata Satya dalam Webinar Internasional dengan tema “Nuclear as Clean and Sustainable Energy” yang diselenggarakan Komunitas Muda Nuklir Nasional Yogyakarta bekerjasama dengan ThorCon dan Komunitas Dunia Stand Up for Nuclear, Jumat (19/02/2021).
Satya menambahkan bahwa untuk memastikan penggunaan energi nuklir berjalan aman, maka banyak kondisi atau persyaratan yang harus dipenuhi, mulai dari aspek keselamatan, teknologi, hingga lingkungan.
“Dewan Energi Nasional tentunya akan melakukan review terhadap KEN [kebijakan energi nasional] dan RUEN [rencana umum energi nasional] dalam asumsi ekonomi makro yang lebih realistis, sedangkan dalam pengembangan nuklir tentunya harus sesuai dengan standar dari IAEA [International Atomic Energy Agency],” imbuhnya.
Jalan Panjang
Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menjelaskan, pemanfaatan nuklir sebagai energi membutuhkan jalan yang panjang hingga puluhan tahun karena banyak aspek yang harus diselesaikan.
Dadan mengungkapkan, pemanfaatan pembangkit bertenaga nuklir akan di kembangkan di daerah terpencil. Selain itu, pemanfaatan nuklir akan sungguh-sungguh memperhatikan aspek keselamatan serta terlebih dahulu mengutamakan pemanfaatan energi baru terbarukan.
“Menurut IAEA dari 19 aspek yang harus dipenuhi, Indonesia sudah memenuhi sebanyak 16 aspek. Dalam rencana jangka menengah hingga tahun 2024 akan disusun roadmap pengembangan pembangkit listrik bertenaga nuklir di Indonesia,” katanya.
Kementerian ESDM sendiri sedang dalam tahap mengembangkan PLTN skala kecil. “Saat ini Kementerian ESDM mengikuti setiap tahapan kegiatan yang tertulis dalam RPJMN (Tahun 2020-2024) setiap tahunnya sebagai roadmap untuk PLTN, “ kata Dadan.
Sejalan dengan hal tersebut, ThorCon, yang memiliki minat serius untuk melakukan investasi dalam hal pengembangan dan pembangunan PLTN berbasis Thorium (PLTT) di Indonesia, memiliki roadmap persiapan yang sejalan dengan roadmap PLTN yang diatur dalam RPJMN Tahun 2020- 2024. ThorCon sendiri telah melakukan Kajian Pengembangan dan Implementasi PLTT di Indonesia (2019) bekerjasama dengan P3TKEBTKE Balitbang ESDM yang saat itu Dadan Kusdiana menjabat sebagai Kepala Balitbang ESDM, dengan kesimpulan bahwa PLTT ThorCon dianggap sebagai salah satu solusi pembangkit listrik bebas karbon yang layak dipertimbangkan untuk dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia pada periode 2026-2027.
Sementar Founder dan Ketua dari Komunitas Nuklir Dunia Stand Up for Nuclear Mark Nelson mengungkapkan, Jerman pada tahun 2018 pada sistem kelistrikan yang sudah terbangun (540 TWh) rata-rata menghasilkan 510 gram CO2 per kWh. Sedangkan Prancis pada tahun 2018 pada sistem kelistrikan yang sudah terbangun (547 TWh) rata –rata menghasilkan 51 gram CO2 per kWh.
Jerman yang mengandalkan energi terbarukan dan sudah menutup PLTN yang dimiliki, sedangkan Prancis yang terus menggunakan PLTN menunjukkan adanya perbedaan dalam sisi ketergantungan karbon yang mana Prancis secara keseluruhan terbukti lebih bersih.
Hal yang demikian juga diperkuat dengan data dari Akademisi asal Jerman, Bjorn Peters, dengan mengungkapkan kegagalan dari target transisi energi Jerman yang mengandalkan energi terbarukan dan masih menunjukkan bahwa Jerman sendiri memiliki instensitas karbon yang cukup tinggi dalam produksi listriknya.
Hal yang demikian menunjukkan bahwa kebijakan transisi energi dengan menggunakan energi terbarukan seperti Jerman, masih tetap belum dapat membuktikan adanya peran untuk menurunkan tingkat perubahan iklim di negara tersebut.agk