Perkembangan Teknologi Gasifikasi sebagai Pondasi Ekonomi Industri Hilir Berbasis Syngas

oleh -317 views

Oleh: Natarianto Indrawan, PhD. | Praktisi dan Peneliti Energi Hidrogen dan Teknologi Gasifikasi di Departemen Energi, Amerika Serikat.

Teknologi gasifikasi telah dikenal secara lama khususnya sejak Perang Dunia II saat produksi massal gasoline untuk kendaraan bermotor dari biomassa di lakukan di Jerman melalui ribuan unit gasifikasi dengan bahan baku kayu (wood) [1]. Meskipun telah terbukti secara komersial dalam mengolah berbagai bahan baku organik, termasuk batubara, biomassa, dan limbah padat [2], teknologi gasifikasi masih terus mengalami pengembangan khususnya dalam hal peningkatan efisiensi dan kemampuannya dalam mengolah bahan baku organik komplek seperti sampah organik dan plastik [3]. Gasifikasi menghasilkan synthetic gas (syngas) yang umumnya memiliki nilai kalori 5-20 MJ/Nm3, bergantung dari medium gasifikasi dan teknologi yang digunakan. Meskipun nilai kalori syngas lebih rendah dari nilai kalori gas alam (37-40 MJ/Nm3), syngas merupakan komponen penting untuk berbagai produk kimia bernilai tinggi seperti methanol dan dimethyl ether (DME) dan juga listrik. Untuk produksi berbagai produk kimia serta bahan bakar transportasi, syngas sebaiknya memiliki rasio molar hidrogen dan karbon monoksida (H2/CO) sebesar ~2.0.

Uraian ringkas perihal keekonomian industri berbasis syngas telah dimuat pada Global Energi Edisi 112/2021 – Prospek Industri berbasis syngas. Uraian kali ini akan fokus pada perkembangan teknologi gasifikasi yang saat ini menuju generasi keempat. Prinsip utama gasifikasi adalah konversi material organik (berbasis karbon) menjadi syngas dengan komponen utama berupa hidrogen (H2) dan carbon monoxide (CO), melalui proses reaksi sebagai berikut:

*Catatan: a adalah jumlah oksigen per kmol carbon material, w adalah jumlah air per kmol carbon material, n1, n2, n3, n4, n5, n6, n7, n8, n9, n10, n11, n12 and n13 adalah koefisien berbagai produk dan soot. 

Dari reaksi di atas, setidaknya terdapat lebih dari 18 reaksi yang berpengaruh terhadap komposisi syngas, diantaranya yang umumnya paling dominan adalah reaksi oksidasi parsial karbon, water gas, water gas shift, dan boudouard. Oleh karena itu, pengembangan teknologi gasifikasi selalu berfokus pada selectivitas dan optimasi reaksi yang akan lebih banyak menghasilkan produksi H2 dan CO dengan input energi minimum. Secara proses, teknologi gasifikasi memiliki 3 konfigurasi yakni fixed/moving-bed, fluidized bed, dan entrained flow.

1.   Teknologi Generasi Pertama (Gen-1)

Teknologi gasifikasi generasi pertama (Gen-1) secara umum merupakan modifikasi dari teknologi gasifikasi yang digunakan pertama kali untuk produksi massal gasoline oleh tentara Jerman saat perang dunia ke-2. Ciri dari teknologi ini adalah operasi pada tekanan tinggi dengan bahan baku batubara dan biomassa. Syngas yang dihasilkan digunakan untuk produksi bahan kimia seperti methanol, seperti yang dibangun dan dioperasikan di Teluk Bintulu, Sarawak, Malaysia. Dikarenakan teknologi ini sudah cukup mature (i.e., Technology readiness level / TRL mencapai 9), pemegang lisensi dan pengembang teknologi ini sangat beragam termasuk diantaranya Air Product, Conocophillips, Shell, Siemens, KBR, Lurgi, Mitsubishi, U-gas, Uhde dan Prenflow, dengan konfigurasi reaktor (gasifier) pada deskripsi detail pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan teknologi gasifikasi Gen-1

GasifierKarakteristik utamaKeunggulan teknologiRef.
Air Product (Chevron-Texaco / GE)Pertama kali dikembangkan oleh Chevron-Texaco (Figure 1a) sebelum diakuisisi oleh General Electric (GE) dan Air Product. Karakter operasi berupa slurry fed, oxygen-blown, entrained-flow, serta refractory-lined slagging gasifier. Desain sistem meliputi radiant cooler dan quench untuk syngas cleaningSesuai untuk bahan baku batubara bituminous, petroleum coke (petcoke), atau campuran pet coke dan lignite (low-rank coals). Saat ini, lebih dari 64 plant beroperasi di dunia dan memproduksi lebih dari 15,000 MWth syngas. Sistem pendingin udara pada entrained slagging gasifiers lebih efisien diandingkan dengan sistem pendingin air, seperti diterapkan pada gasifier Shell, Siemens, MHI, and Prenflow, yang dapat memperpanjang usia operasi gasifier hingga sekurangnya 8 tahun.[4, 5]
Conoco Phillips E-GasDikembangkan oleh Dow Chemicals dengan demo unit di Louisiana Gasification Technology Inc. Karakter gasifikasi berupa entrained flow, slurry fed, oxygen-blown, dan refractory-lined dengan sistem continuous slag and particulate removal (Figure 1b).Desain sangat sesuai untuk beragam jenis batubara, mulai dari pet coke hingga bituminous serta kombinasi diantaranya.[4]
Air Product (Shell)Dikembangkan pada 1956, dan didemonstrasikan pada 1974. Karakter gasifier berupa Oxygen-blown dan water-wall yang meningkatkan kehandalan refractory secara signifikan (Figure 1c). Teknologi gasifikasi Shell berbasis batubara yang telah banyak digunakan di beberapa negara pada Mei 2018 lalu juga telah diakuisisi oleh Air Product.Desain sangat sesuai untuk beragam jenis bahan baku organik, mulai dari pet coke hingga lignite (low-rank coals) serta biomassa.[4, 6]
SiemensDikembangkan pertama kali pada 1975 oleh Deutsches Brennstoffinstitut di Frieberg, Germany untuk kemampuan mengkonversi lignite dan sampah organik. Unit demonstrasi berhasil dibangun pada 1984 di Schwarze Pumpe dengan kapasitas 200 MWth. Teknologi ini kemudian diakusisi oleh Siemens pada 2006. Karakter operasi berupa Dry feed, oxygen-blown, top fired reactor dengan dilengkapi water wall screen (Figure 1d).Desain sangat sesuai untuk aplikasi beragam jenis batubara, mulai dari bituminous hingga lignite.[4]
KBR transportKarakter gasifier menggunakan media oxygen atau udara (air blown), non-slagging gasifier (also known as TRIG gasifier) tanpa adanya burners (Figure 1e). Desain gasifier dirancang berdasarkan hydrodynamic flow yang tersedia pada teknologi catalytic cracking KBR.Kontak antara material solid dan gas pada prosesnya sangat efisien dengan resistensi minimum, sehingga dapat mengakomodir laju umpan (batubara) yang tinggi dan mencegah isu terkait penanganan slag dan erosi pada liner gasifier.  Desain sangat sesuai untuk beragam jenis batubara, khususnya lignite. Teknologi ini pernah ingin diterapkan pada proyek Kemper oleh Mississippi Power Company pada 2016 yang disponsori oleh Departemen Energi AS. Plant ini berkapasitas 560 MW dan menggunakan Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC), hanya saja proyek tidak dilanjutkan dengan pertimbangan ekonomis karena faktor harga domestik gas alam yang semakin rendah.[4, 7]
British Gas LurgiDikembangkan pada 1958 hingga 1965. Karakter gasifier berupa dry feed, oxygen-blown, dan refractory-lined (Figure 1f). dikenal sebagai multi-purpose gasifier.Desain sesuai untuk beragam jenis material organik, mulai dari petcoke, coal slurries, sampah organik, dan beragam kombinasi dengan refused derived fuel (RDF), ban bekas, dan sampah kayu.[4]
Mitsubishi Heavy IndustriesMemiliki karakter operasi air blown, two-stage entrained bed, slagging gasifier dengan dilengkapi water-wall membrane (Figure 1g).Desain sesuai untuk lignite dengan kandungan moisture yang tinggi. Teknologi ini telah berhasil dibangun di Nakoso, Jepang, untuk kapasitas 250 MW sejak September 2007.[4]
U-GasLisensi teknologi ini dimiliki oleh Synthesis Energy System (SES). Karakter operasi berupa fluidized bed yang dilengkapi dry feed system (Figure 1h).Desain sesuai untuk konfiguraasi media udara atau oksigen yang memproduksi non-slagging/bottom ash.[4]
High Temperature Winkler (Uhde)Karakter operasi berupa fluidized bed dengan dilengkapi sistem dry feed dan beropeasi dengan oksigen atau udara dan memproduksi dry bottom ash (Figure 1i). Dibangun pertama kali oleh Uhde pada 1926. Desain sesuai untuk lignite namun juga dapat diterapkan pada berbagai bahan baku organik.[4]
PRENFLOKarakter gasifier berupa pressurized entrained flow dengan media uap (steam). Gasifier dilengkapi sistem dry feed dan membrane wall (Figure 1j). Teknologi ini juga dikembangkan oleh Uhde.Desain sesuai untuk beragam bahan baku organik padat seperti batubara lignite, anthracite, dan refinery residues. Sebuah plant menggunakan konfigurasi IGCC di Puertollano, Spain, berhasil dibangun dan dioperasikan pada kurun 1998-2014, dengan teknologi ini.[4]
Microwave plasmaConsists of a magnetron, waveguide components (WR-340 for 2.45 GHz), and a microwave plasma torch (Figure 1l). Occurs at 1 atm and 2,000-6,500°C. Using palm skin and feed rate of 8 kg/h, major syngas’s composition (in vol. basis) was (approx.) H2 7%, CO 16%, and CO2 18%.Lower energy consumption than thermal arc plasma; can tolerate high moisture (up to 40%) and fine materials. CGE of 43% and syngas LHV of 9.5 MJ/Nm3 obtained at steam/carbon ratio of 1.36. Demonstrated at 500 kW scale.[8-10]

2.   Teknologi Generasi Kedua (Gen-2)

Berbeda dengan teknologi generasi pertama, selain menggunakan media gasifikasi udara (air) atau oksigen, teknologi Gen-2 menggunakan aplikasi plasma untuk meningkatkan konversi material organik (i.e., memecah hidrokarbon rantai panjang menjadi H2 dan CO) dan beroperasi pada tekanan ruang (atmospheric). Plasma adalah gas yang terionisasi yang diproduksi dengan melewatkan udara atau oksigen ke dalam electric arc dari plasma DC torch untuk menciptakan temperatur ruang yang sangat tinggi (4000-5000°C). Pada kondisi tersebut, material organik seperti sludge, sampah organik, dan biomassa dengan kandungan uap air (moisture content) yang tinggi dapat terkonversi menjadi syngas (H2 dan CO) dengan lebih mudah tanpa memerlukan treatment yang komplek seperti pada gasifier entrained flow. Syngas yang dihasilkan akan memiliki kandungan H2 yang tinggi dan bebas tar (free tar syngas), sedangkan kandungan inert (seperti glass dan logam) pada bahan baku akan terkonversi menjadi slag. Syngas dengan nilai kolari 11.5 MJ/Nm3 (Lower heating value / LHV basis) dengan kandungan H2 sebesar 50-55% and CO sebesar 40-44% dapat dihasilkan.

Keunggulan lainnya adalah adanya temperatur operasi yang tinggi tersebut, teknologi gasifikasi plasma ini dapat diterapkan untuk mengkonversi bahan baku berbahaya (hazardous materials) seperti sampah biomedis dan industri. Hanya saja, tantangan utama dalam pengembangan teknologi ini adalah kebutuhan energi input (specific input energy / SIE) yang tinggi untuk operasional plasma torch, yang berkisar 0.6-3.5 kW/kg/h [11-13], tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan.

Teknologi ini pertama kali dikembangkan oleh Westinghouse Plasma Center (WPC) pada kurun 1990-2015 dengan demo unit sebesar 40 ton per hari yang berlokasi di Madison, Pittsburgh, PA, Amerika Serikat. Plant ini telah terbukti berhasil dalam konversi berbagai bahan baku organik mulai dari biomassa hingga sampah kota dengan operasional yang stabil. Beberapa plant di dunia yang pernah menerapkan teknologi ini diantaranya di Eco-Valley Waste to Energy (WTE) Utashinai, Jepang, selama 2003-2013, untuk pengolahan kombinasi sampah industri dan sampah kota dengan kapasitas 165 ton per hari. Selain itu, proyek komersial terakhir dapat ditemukan pada catatan konstruksi proyek Tees Valley di UK pada 2014-2016 lalu dengan kapasitas total 100 MW untuk produksi listrik yang dihasilkan melalui 2 (dua) train gasifier dengan kapasitas masing-masing 1,000 ton per hari.

Sponsor proyek ini adalah Air Product, perusahaan yang berpusat di lehigh valley, PA, Amerika Serikat. Sayangnya, proyek yang menelan biaya 13 ribu USD/kW tersebut dan sudah mencapai hampir 90% penyelesaian ini tidak dilanjutkan karena alasan teknis yang ditemukan saat commisioning. Beberapa diantaranya adalah erosi pada dinding gasifier sebagai akibat dari efek kombinasi asam dan panas dari proses gasifikasi, kebocoran pada dinding stack gasifier, korosi pada syngas duct, overpressure pada gasifier yang mengakibatkan kesulitan operasional feeding system, dan thermal pressure dan overload pada struktur pondasi gasifier. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan heat dan balance gasifier dan kesulitan kontrol operasi.   

3.   Teknologi Generasi Ketiga (Gen-3)

Teknologi ini merupakan teknologi yang prinsipnya hampir sama dengan teknologi Gen-2, yakni penggunaan media plasma yang beroperasi pada tekanan ruang dan kemampuannya untuk mengolah berbagai bahan baku organik yang komplek, seperti sampah kota, plastik, sludge organik, dan lignite. Keunggulannya dibandingkan dengan generasi sebelumnya (Gen-2) adalah penggunaan teknologi microwave (MWave) untuk produksi plasma sehingga tidak memerlukan penggantian elektroda sebagaimana pada teknologi plasma DC arc torch pada Gen-2. Selain itu, luas area plasma yang dihasilkan jauh lebih besar dengan temperatur operasi plasma hanya sekitar 2,000°C, sehingga dari sisi kebutuhan input energi (SIE), teknologi MWave plasma dua kali lebih efisien dibandingkan dengan teknologi plasma DC arch torch dan radio frequency inductive coupling plasma (RF-ICP). SIE sekitar 1.8-2.0 kW/kg/h diperlukan untuk bahan baku lignite dan wood pellet biomass [8, 14].   

Dengan efisiensi yang tinggi, biaya kapital untuk pembangunan plant dengan teknologi ini adalah >60% lebih rendah dari Gen-2 (~ <5 ribu USD/kW). Pemegang lisensi dan pengembang teknologi ini di dunia saat ini beberapa diantaranya adalah Stopford Ltd, UK dan Green Science Ltd, Korsel. Gambar 3 merupakan teknologi MWave plasma yang dikembangkan oleh Green Science untuk kategori komersial plant berkapasitas 3 MW di Taebaek, Gangwon, Korsel yang telah beroperasi sejak April 2021 lalu dan tercatat sebagai plant pertama di dunia. Untuk representasi dan pengembangan di tanah air, dapat menghubungi: info@bumarenergi.co.id

4.   Teknologi Generasi Keempat (Gen-4)

Teknologi gasifikasi generasi keempat (Gen-4) saat ini masih dalam tahap konsep dan bench scale, yang berfokus pada peningkatan efisiensi yang lebih baik dari Gen-2 dan Gen-3. Salah satu kandidat aplikasi yang dapat digunakan adalah teknologi non-thermal plasma, yang dapat dihasilkan dari beberapa metode, diantaranya Corona Discharge, Pulsed Corona Discharge, dan Dielectric Barrier Discharge. Saat ini teknologi ini masih dalam awal pengembangan, yang mayoritas digunakan untuk methane, syngas, atau tar reforming. Beberapa laporan riset telah disampaikan diantaranya SIE sebesar 2-17 kW/m3/h diperlukan untuk konversi toluene dan benzene menjadi syngas.

Dengan trend perkembangan tersebut, teknologi gasifikasi dapat menjadi pondasi ekonomi industri hilir petrokimia dan kimia berbasis syngas. Dengan sumber daya alam yang tersedia beragam di tanah air, seperti limbah biomassa berbagai perkebunan termasuk kelapa sawit, batubara berbagai jenis termasuk lignite, dan material organik lainnya termasuk sampah kota, industri hilir berbasis syngas dapat dikembangkan lebih merata di berbagai pelosok tanah air, yang didukung oleh kolaborasi yang baik antara pihak swasta, pemerintah (lokal/pusat) maupun pihak lainnya yang ingin berkontribusi pada pembangunan sektor energi di Tanah Air.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.