Pembahasan energi baru terbarukan (EBT) rasanya tak perna habis-habisnya. Apalagi, pemerintah berencana mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara. Ini sesuai dengan hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB COP26 di Glasgow, Skolandia, beberapa waktu lalu. Para stakeholder menyambutnya dengan penuh harap. Hanya saja, menuju ke EBT tak semudah membalikkan telapak tangan. Berliku. Seolah tak berujung. Mengapa? Karena masih banyak persoalan yang menyelimutinya. Terutama Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT yang sudah lama ditunggu dan diharapkan menjadi “pendobrak” untuk sebuah keberhasilan energi bersih ini, belum rampung juga. Mengapa? Ada apa dibalik itu?
Oleh: Erfandi Putra
Berbagai kalangan memperkirakan target bauran EBT hingga 23% pada 2025 akan molor dari jadwal. Memang pemerintah telah memiliki perencanaan yang matang. Hanya saja, hingga kini pada kenyataannya capaiannya masih di kisaran 11% – 12%. Masih cukup jauh. Padahal waktu yang ditergetkan sudah kurang 3 tahun.
Molornya capaian bauran EBT tersebut, secara umum para investor wait and see. Sebagian besar mereka menunggu kepastian dengan terbitnya RUU EBT. Dapat dikata yang terus bergerak di sektor ini, yakni hanyalah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Hingga saat ini, kontribusi penambahan kapasitas pembangkit EBT masih dipegang PT PLN (Persero). Dalam perjalannya, perusahaan ini telah memiliki daftar rencana untuk mencapai target dalam empat tahun mendatang. Akan tetapi, kendala di lapangan tidak dapat dihindarkan. Beberapa di antaranya kendala pada tahap negosiasi, tahapan lelang, maupun saat Contract Discussion Agreement (CDA).
Bahkan, rencana tersebut bisa saja tersangkut perkara perizinan hingga mengenai analisis dampak lingkungan (Amdal). Seperti diketahui, PLN menargetkan untuk membangun pembangkit EBT sebesar 10,6 Giga Watt (GW) hingga 2025 mendatang. Program ini dijalankan beriringan dengan program efisiensi PLTU untuk mendukung target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 yang dicanangkan oleh pemerintah.
PLN sendiri bakal mulai menawarkan 21 proyek EBT pada tahun 2022 mendatang. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, penawaran proyek EBT ini sebagai implementasi Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang telah diterbitkan sebelumnya.
Pernyataan tersebut dilontarkan Arifin dalam gelaran The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021, Selasa (22/11/2021) yang turut dihadiri Presiden Joko Widodo. Selain sejumlah proyek EBT tersebut, juga dilakukan peresmian 21 proyek EBT berbasis hidro, surya dan biogas dengan total kapasitas sekitar 312 MW serta satu pabrik biodiesel berkapasitas 580 ribu kiloliter (kl) per tahun.
“Pengumuman proyek-proyek EBT yang ditawarkan oleh PLN kepada investor sebagai implementasi RUPTL 2021-2030 dengan total kapasitas mencapai hampir 1,2 GW untuk periode pengadaan 2021/2022,” kata Arifin.
Di samping itu, dilakukan penandatanganan 4 kontrak perjanjian proyek EBT berkapasitas total 14,5 MW. Arifin mengatakan, total investasi dari serangkaian kegiatan tersebut mencapai 3,9 miliar dollar AS. “Hal ini memperlihatkan bahwa kesempatan untuk investasi di subsektor EBT sangat terbuka,” katanya.
Sementara itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya memastikan pengadaan untuk sejumlah proyek EBT oleh PLN akan dilakukan pada tahun depan. “Ini juga yang nanti akan kami terus memantau, memonitor terkait proses pengadaan dan penawarannya,” kata Chrisnawan dalam sesi Konferensi Pers Virtual, Selasa (22/11/2021).
Chrisnawan mengatakan, monitoring perlu dilakukan agar proses pengadaan dapat berjalan sesuai rencana, apalagi total kapasitas 1,2 GW dari program ini diakui belum mencukupi untuk mengejar target bauran 23% di 2025 mendatang.
PLN Terus Bergerak
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo menjelaskan rencana baru untuk perusahaan setrum negara ini ke depannya. Ditemui CNBC Indonesia pada ajang CNBC Indonesia Awards 2021, Selasa (14/12/2021) di Jakarta, Darmawan mengatakan, saat ini PLN mendapatkan tugas baru yakni transisi energi.
Pemerintah telah melontarkan bahwa ekonomi Indonesia harus mengalami dekarbonisasi. Khusus untuk sektor kelistrikan, ada program yang bernama karbon netral di 2060. Hal ini juga bertepatan dengan diluncurkannya RUPTL 2021-2030 yang lebih hijau.
Bahkan, RUPTL kali ini merupakan paling hijau dalam sejarah Indonesia, karena dari tambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 41 Giga Watt (GW) selama 2021-2030, ternyata 51,6% berbasis pada EBT.
Ia menyebutkan, untuk mendukung target netral karbon pada 2060, Indonesia perlu membangun pembangkit listrik berbasis EBT hingga 250 GW. Dengan kebutuhan investasi yang besar, yakni hingga Rp 9.000 triliun.
Pertamina Fokus EBT
Sementara, PT Pertamina (Persero) menyatakan akan lebih mengembangkan EBT dalan strategi jangka panjangnya untuk mencapai target emisi bebas karbon pada 2050. Pengembangan tersebut mulai dari pengembangan bahan bakar hijau hingga baterai kendaraan listrik.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati mengatakan dalam strategi jangka panjang perseroan, upaya dekarbonisasi dilakukan dengan mengolah co2 melalui penggunaan teknologi carbon capture storage (CCS) atau diolah langsung untuk diproses menjadi ethanol dan methanol.
Nicke menambahkan, ke depannya penggunaan bahan bakar minyak (BBM) konvensional ke depannya akan terus dikurangi dengan pengembangan bahan bakar berbasis nabati sepertio biodiesel dan bioavtur.
“Penggunaan BBM ini kita terus kurangi tentu dengan program bioenergi,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII, Senin (15/11/2021).
Pengembangan EBT lainnya adalah dengan menggarap ekosistem baterai listrik bersama dengan holding baterai dan juga akan masuk pada industri mobil listrik. Tidak hanya itu, pengembangan secara agresif akan dilakukan pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang ditargetkan mengalami peningkatan kapasitas terpasang secara signifikan dalam satu dekade ke depan.
“Geothermal di Pertamina ini pun akan terus kita lakukan dan akan kita tingkatkan double capacity dalam lima tahun ke depan,” ungkapnya.
Sebelumnya, Pertamina dan entitas anaknya yakni Pertamina Geothermal Energy berencana untuk menerbitkan green bond untuk mengatur ulang pinjaman lama yang masih konvensional dan juga akan digunakan untuk proyek peningkatan kapasitas PLTP.
Chief Financial Officer (CFO) Pertamina Geothermal Energy (PGE), Nelwin Aldriansyah mengatakan, PGE berencana menerbitkan wind green bond pada semester pertama I/Tahun 2022, sedangkan rencana green bonds Pertamina rencana juga akan direalisasikan pada tahun depan. “Green bond akan digunakan untuk refinancing pinjaman konvensional kami yang ada dan juga untuk membiayai rencana belanja modal kami dalam mengembangkan proyek panas bumi baru di Indonesia,” katanya.
Nelwin mengatakan, dengan upaya itu diharapkan dapat menambah kapasitas terpasang hingga 375 megawatt (MW) dalam empat tahun ke depan. Dia optimistis dengan tambahan kapasitas tersebut akan berkontribusi signifikan terhadap rencana Pertamina untuk melakukan dekarbonisasi dan mengurangi emisi hingga 30 persen pada 2030.
“Kami menargetkan total kapasitas terpasang menjadi 1.500 MW pada 2030,” ungkapnya.
Kejar Target 23%
Lebih lanjut Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, realisasi investasi di sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) berpotensi hanya 1,44 miliar dollar AS pada akhir 2021. Hal ini berarti investasi sektor EBTKE hanya akan terealisasi 70,58% dari target awal, yakni 2,04 miliar dollar AS.
“Realisasi investasi di sub sektor EBTKE diharapkan dapat mencapai 1,44 miliar dollar AS,” katanya.
Realisasi investasi di sektor EBTKE sebesar US$ 1,12 miliar pada kuartal III 2021. Rinciannya, investasi di panas bumi sebesar 49%, aneka EBT 32%, bioenergi 18%, dan sisanya 1% berasal dari investasi di bidang konservasi energi.
Menteri mengatakan, pihaknya telah mengesahkan green rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) untuk mencapai porsi EBT 23% pada 2025. Pemerintah menargetkan pembangunan pembangkit berbasis EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) hingga 2030 mendatang.
“Pembangkit EBT yang direncanakan untuk dikembangkan hingga 2030 adalah sebesar 20,9 GW atau 51,6%n dari total kapasitas pembangkit yang akan dibangun,” katanya.
Berdasarkan hitungan Kementerian ESDM, sumber EBT yang ada di seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi hingga 3.600 GW. Potensi itu akan menjadi modal pemerintah untuk melaksanakan transisi energi menuju nol emisi bersih. Strategi utama yang akan dilakukan untuk menuju nol emisi bersih sampai 2060 adalah meningkatkan pengembangan semua pembangkit EBT.
Salah satu yang menjadi prioritas adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). “Di sektor rumah tangga mendorong pemanfaatan kompor listrik, pengurangan impor LPG secara bertahap, di sektor transportasi pemanfaatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, serta pengembangan interkoneksi, smart grid, smart meter, dan jaringan gas bumi,” kata Arifin.
Realisasi kapasitas pembangkit listrik EBT hingga kuarta III/2021 mencapai 386 megawatt (MW). Tambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT, di antaranya berasal dari PLTA Poso Peaker 2nd Expansion Unit 1 dan 2 sebesar 130 MW, 12 unit PLTM sebesar 71,26 MW, 55 MW dari 2 unit PLTP, PLT Bioenergi 19,5 MW, dan tambahan PLTS atap 17,88 MW.
Sementara Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pelanggan PLTS atap di kuartal III/2021 telah meningkat menjadi 4.262 pelanggan, dengan total kapasitas 39,28 MWp.
“Pelanggan PLTS atap semakin bertambah, tersebar dari Aceh hingga Papua. Hal ini menandakan program ini disambut baik masyarakat,” ujar Dadan, beberapa waktu lalu.
Tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT prognosis hingga Desember 2021 akan bertambah dari PLT Biomassa (dari limbah cair sawit) berkapasitas 10 MW berlokasi di Jawa Timur, yang ditargetkan akan Commercial Operation Date (COD) tahun ini.
Di samping itu, akan ada penambahan 2 unit PLTP, yaitu PLTP Rantau Dedap dan PLTP Sokoria, berkapasitas total 91 MW, yang kemajuan pembangunannya sudah mencapai 90%. “Juga penambahan dari PLTS/PLTS atap sebesar 27,54 MW dan PLTA dengan kapasitas 200 MW. Untuk skala kecil menengah, akan bertambah dari 13 PLTM dengan total kapasitas 395,57 MW,” katanya.
Untuk distribusi Biodiesel, dari target 9,2 juta kiloliter (kl) di 2021, sampai September 2021 realisasinya mencapai 6,64 juta kl (72,17 persen). Dadan mengatakan, Program B30 masih terus dijalankan untuk seluruh sektor, tetapi ada beberapa pengecualian, seperti peralatan TNI di dataran tinggi yang memang tidak sesuai secara spesifikasi.
“Ke depan tidak hanya biodiesel yang kami dorong, tetapi juga program biofuel lain yang berbasis sawit, misalkan Bensin Sawit, Bio-Avtur, dan Bio-CNG,” jelasnya.
Selanjutnya Dadan juga menjelaskan, realisasi investasi EBTKE kemungkinan besar tidak mencapai target untuk 2021 karena faktor pandemi Covid-19. Adapun, target investasi EBTKE tahun ini adalah 2 miliar dollar AS, dan sampai dengan September 2021 telah mencapai 1,12 miliar dollar AS.
Meski begitu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) subsektor EBTKE dari bidang panas bumi hingga September 2021 telah mencapai Rp 1,63 triliun. Angka ini sudah melebihi target yang ditetapkan pemerintah tahun ini sebesar Rp 1,43 triliun.
Adapun berdasarkan prognosa hingga akhir tahun ini PNBP ditetapkan sebesar Rp 1,7 triliun. “PNBP Panas Bumi sebagian besar (97%) berasal dari Wilayah Kerja Panas Bumi Eksisting berupa Setoran Bagian Pemerintah, sedangkan pemegang Izin Panas Bumi (IPB) berkontribusi 3% untuk PNBP Panas Bumi,” ujarnya.
Tantangan pengembangan EBT di negara ini juga banyak. Untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS, misalnya, masih membutuhkan banyak pembiayaan.
Harga panel surya skala kecil untuk PLTS Atap tak berubah sejak 2016, berkisar Rp 13 juta hingga Rp 18 juta per kilowatt peak (kWp). Proses pembiayaan pembangkit itu juga sulit tercapai. Salah satu masalahnya karena skala proyek yang kecil. Untuk mendapatkan pendanaan murah dari lembaga keuangan pun menjadi terbatas. “Fasilitas pendanaan murah untuk pembangunan PLTS Atap belum banyak tersedia,” katanya.
Butuh Biaya Besar
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui ada kebutuhan biaya yang besar dalam upaya mendorong transisi energi fosil menuju EBT. Jokowi mengungkapkan, saat ini Indonesia sudah cukup lama menggunakan energi dari batubara. Meskipun Indonesia memiliki potensi yang besar untuk sumber EBT, namun perlu ada skenario yang matang.
Presiden menilai biaya listrik berbasis EBT nantinya bisa saja akan lebih tinggi ketimbang energi yang berbasis batubara. “Misalnya pendanaan atau investasi datang, kan lebih mahal dari batubara. Siapa yang bayar gap-nya? negara? kita gak mungkin, angkanya berapa ratus triliunan itu,” kata Jokowi ketika membuka Gelaran The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021, Selasa (22/11/2021).
Beban selisih biaya transisi energi ini juga tidak mungkin dibebankan pada masyarakat. Jika dibebankan pada masyarakat, maka ada kenaikan biaya listrik yang cukup tinggi. Untuk itu, Jokowi telah menginstruksikan jajaran kementerian terkait antara lain Kementerian Kordinator Maritim dan Investasi, Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN untuk memikirkan skema yang konkrit dalam menjalankan transisi energi.
Jokowi meminta agar ada kalkulasi yang detail soal kebutuhan dana dalam mendorong transisi energi ini. Nantinya, hal ini direncanakan akan disampaikan Jokowi dalam KTT G20 di Bali pada tahun depan. Merujuk catatan Kontan, salah satu upaya mendorong transisi EBT adalah dengan mempercepat jadwal pensiun PLTU.
Sementara Komisi VII DPR mendesak agar perbankan nasional terlibat dalam mendukung transisi energi di Indonesia. Sebab, untuk beralih dari energi fosil ke EBT tidak bisa hanya mengandalkan pendanaan dari dunia internasional. Anggota Komisi VII Ridwan Hisjam meminta agar pemerintah dapat mendorong perbankan nasional untuk turut berpartisipasi memberikan pendanaan demi mendukung transisi energi.
“Perbankan Indonesia harus memperhatikan karena kalau tidak perbankan ini gak ikut campur cuma hanya mengandalkan dari luar negeri ini yakin gak bisa lancar. Karena kita butuh dana operasional awal,” kata dia dalam diskusi The 10th Indo EBTKE ConEx 2021, Senin (22/11/2021).
Apalagi, untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri pada 2030, setidaknya membutuhkan pembiayaan hingga US$ 365 miliar (Rp 5.200 triliun). Sementara untuk menurunkan emisi GRK 41% dengan dukungan internasional pada 2030 membutuhkan dana sebesar US$ 475 miliar (Rp 6.767 triliun).
“APBN gak akan cukup untuk mendukung komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi karbon dengan kebutuhan minimal pendanaan minimal US$ 5,7 miliar (Rp 81,2 triliun) per tahun untuk transisi energi,” katanya.
Oleh karena itu, investasi di sektor swasta baik dalam negeri maupun luar negeri harus dibuka secara luas luasnya. Pemerintah perlu cara menghubungkan keuangan negara dengan sektor swasta, baik domestik maupun internasional dalam rangka mencapai target yang dicanangkan.
“Saya izin, statement politik untuk memberikan dukungan besar kepada EBT ini kita harus melakukan revolusi EBT,” ujarnya.
Menurut Ridwan hari ini merupakan momen yang tepat untuk menggalakkan revolusi di sektor energi bersih. Salah satunya dengan merampungkan payung hukum EBT yang saat ini masih berproses. “Tahun depan harus selesai yang namanya payung hukum. Kalau tidak dikatakan revolusi orang di Indonesia biasa ‘alon alon asal kelakon’. Kita harus kerja keras melakukan revolusi,” katanya.
DPR Dorong Percepatan
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mendorong agar program percepatan energi fosil ke EBT bisa dilaksanakan dalam bentuk geothermal, surya, solar, hidro dan dalam bentuk lainnya. Mengingat sumber EBT berbasis geothermal yang dikembangkan oleh geothermal energy sudah dikembangkan sampai dengan enam sumur.
Hal tersebut disampaikan Eddy Soeparno saat memimpin tim kunjungan kerja komisi VII DPR RI ke Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Pertamina Geothermal Energy area Lahendong, di Tomohon, Sulawesi Utara, Rabu (8/12/2022). Kunjungan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui rencana peningkatan kapasitas dan pengoperasian energi listrik panas bumi.
“Ke depannya, kita memang perlu mempercepat dan memfasilitasi progres dari pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT. Ini komitmen kita untuk mempercepat transisi energi dari energi fosil ke EBT. Di Kawasan Lahendong sudah ada pengembangan sampai enam sumur dan ada rencana untuk mengembangkan lebih lanjut ke delapan sumur unit dan saat ini memproduksi listrik dengan kapasitas 120 menjadi 140 megawatt,” kata Eddy.
Wakil rakyat dapil Jawa Barat III ini menjelaskan, untuk mencapai target 23%, bauran EBT di tahun 2025 tantangannya cukup besar dan sekarang ini bauran energi fosil masih besar terutama batubara. “Dari yang bisa kita ubah dari batu bara ke energi transisi yaitu gas. Akan tetapi itu energi bersih dan bukan energi baru terbarukan, jadi saat ini kita genjot dulu dalam rangka untuk bisa mempercepat bauran energi baru terbarukan kita lakukan melalui energi transisi yaitu gas.” ungkap Eddy.
Eddy berharap, kedepannya semakin banyak pembangkit listrik yang memanfaatkan energi baru terbarukan. Salah satu yang tercepat yang bisa dikembangkan adalah tenaga solar (surya). Pihaknya sendiri sudah melihat beberapa project pembangkit listrik solar yang sudah dikembangkan terutama di Indonesia Timur yang curah mataharinya tinggi.
“Kami berharap, karena solar itu bisa dipasang secara modular bisa juga dikembangkan untuk industri bahkan sampai ke perumahan. Saya kira kita semua punya kewajiban untuk partisipasi untuk mengembangkan energi baru terbarukan tersebut,” pungkas politisi Fraksi PAN.
Menunggu RUU EBT
Pada Selasa (7/12/2021), Dewan Energi Nasional (DEN) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang Rancangan Undang Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). FGD yang diselenggarakan secara tatap muka dan virtual ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan serta urgensi penyusunan RUU EBT. RUU ini sudah cukup lama ditunggu para stakeholder, karena dengan disahkannya RUU tersebut, persoalan EBT yang selama ini menyelimuti perkembangan EBT diperkirakan diperkirakan akan mencair.
Anggota DEN, Satya Widya Yudha membuka sekaligus memimpin acara FGD RUU EBT mengatakan, sesuai dengan amanat UU No.30/2007 tentang energi, bahwa sumber daya energi harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat dan generasi kedepannya. Untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional perlu didorong pemanfaatan EBT kedepannya.
Saat ini, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah strategi dalam upaya mendorong pemanfaatan EBT, salah satunya dengan mengembangkan PLTS Terapung dan PLTS Atap. Pemerintah juga berkomitmen untuk mengurangi dampak perubahan iklim, melalui strategi transisi energi. Transisi energi sejalan dengan target EBT dan ditargetkan NZE pada tahun 2060.
Satya juga menjelaskan bahwa saat ini EBT diatur dalam berbagai regulasi, namun perlu diatur secara komprehensif tersendiri. “RUU EBT diharapkan dapat menjadi jawaban tantangan EBT, baik dari segi harga, kepastian hukum, iklim investasi dan mendorong kemandirian dan ketahanan energi serta bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya,” kata Satya seperti dikutip dari laman DEN.
Ketua Komisi VII DPR RI (membidangi energi), Sugeng Suparwoto mengatakan, RUU EBT merupakan inisiatif Komisi VII DPR RI mengingat trend dunia saat ini adalah penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan.
Pemerintah saat ini juga berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan penggunaan energi bersih, dan saat ini banyak stakeholders menaruh harapan pada RUU EBT untuk mendorong pemanfaatan EBT kedepannya. Oleh sebab itu,
Sugeng mengharapkan dengan adanya FGD hari ini dapat menambah pemikiran dan masukan dalam draft RUU EBT untuk mendapatkan hasil yang dapat diimplementasikan dengan baik kedepannya.
Anggota Komisi VII DPR RI, Willy Midel Yoseph mengatakan bahwa RUU EBT merupakan keharusan pada era saat ini, pengesahan RUU EBT merupakan langkah awal Pemerintah untuk memberikan paying hukum terkait dengan dunia usaha EBT.
Komisi VII DPR RI akan terus mendorong disahkannya RUU ini secepatnya agar dapat mempersiapkan hal hal lain yang timbul dari pengesahan RUU ini, karena setelah RUU ini terbit banyak regulasi turunannya yang perlu disiapkan oleh Pemerintah.
Selain menjamin kepastian hukum dan dunia investasi, RUU ini juga menjadi strategi Pemerintah dalam upaya percepatan pencapaian target EBT 23% pada tahun 2025. Willy juga berharap agar FGD ini dapat memberikan masukan yang positif dan membangun terkait dengan RUU EBT yang sudah ada.
Sejalan dengan hal tersebut Anggota Komisi VII DPR RI, Gandung Pardiman mengatakan bahwa semangat Komisi VII DPR RI terhadap pengesahan RUU EBT akan terus dikawal walaupun animo masyarakat dan dunia usaha tidak sebesar pada saat pengesahan RUU Minerba, sebagai promotor pengusul RUU EBT Komisi VII DPR RI akan terus semangat sampai dengan pengesahan.
Selain itu, Gandung juga mengingatkan bahwa nama RUU EBT berasal dari Komisi VII DPR RI yang mengusulkan. “Stakeholders jangan khawatir, kita kawal bersama sampai proses pengesahan RUU ini” tutup Gandung.
Anggota DEN, Agus Puji mengapresiasi Komisi VII DPR RI bahwa RUU EBT sudah memasuki tahap akhir dan tinggal menunggu pengesahan, Agus Puji juga mengatakan bahw RUU ini sudah ditunggu oleh banyak masyarakat, terutama penggiat isu lingkungan untuk menurunkan emisi dan mencapai target NZE pada tahun 2060.
RUU EBT ini juga akan menjadi acuan dalam perubahan atau revisi peraturan RUEN dan KEN kedepannya. Agus Puji juga mengatakan bahwa perlu disiapkan regulasi turunan RUU EBT apabila RUU ini disahkan.
Senada dengan hal tersebut, Anggota DEN, Yusra Khan juga mengapresiasi RUU EBT ini sudah memasuki tahap akhir, dan menunggu implementasi dari RUU ini.
Harus Dipercepat
Sementara, Direktur Panas Bumi, KESDM, Harris Yahya dalam FGD tersebut mengatakan, potensi energi terbarukan sangat melimpah sebesar 3.684 GW dan pemanfaatan saat ini masih sangat rendah sebesar 11 GW (< 0,3%).Saat ini capaian bauran EBT hingga 2020 baru sebesar 11,2%, sedangkan untuk sektor pembangkit sebeasr 15%. Harris mengatakan target EBT dalam RUEN sebesar 23% pada tahun 2025 merupakan tantangan dan perlu adanya program strategis untuk mencapai target tersebut, beberapa program tersebut antara lain: konversi energi primer fosil, subtitusi energi primer, penambahan kapasitas EBT fokus pada PLTS Atap.
Harris juga memaparkan mengenai subtansi pokok RUU EBT. RUU EBT diperlukan untuk menciptakan iklim pengembangan EBT yang berkelanjutan dan adil sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh semua kalangan.
“RUU EBT akan memberikan kepastikan hukum, memperkuat kelembagaan dan tata Kelola pengembangan EBT, menciptakan iklim investasi yang kondusif serta mengoptimalkan sumber daya EBT untuk mendukung pembangunan industry dan ekonomi nasional”, tambah Harris.
Senior Vice President Bank Mandiri, Midian Samosir mengatakan bahwa EBT sangat menarik bagi bisnis dunia perbankan, namun juga menjadi tantangan di dunia perbankan. Menarik karena EBT sudah banyak dipayungi regulasi dan ditargetkan oleh Pemerintah, salah satunya adalah target pemanfaatan EBT sebesar 23% pada tahun 2025.
Target tersebut merupakan peluang bagi dunia perbankan, disamping itu Midian Samosir juga mengingatkan bahwa tantangan terbesar adalah ekosistem pendanaan EBT masih sangat minim, sehingga banyak resiko-resiko yang mungkin belum terpikirkan oleh perbankan.
Ia berharap RUU EBT ini memiliki semangat dan spirit untuk mendorong kemandirian dan ketahanan energi nasional serta dapat memberikan kepastian hukum dan menjamin ekosistem investasi kedepannya.
Untung Murdiyatmo, Ketua Asosiasi Ethanol Indonesia (ASENDO) mengatakan bahwa RUU EBT sudah ditunggu dan telah dibahas berulang kali oleh stakeholders untuk mendorong pemanfaatan energi bersih dan ramah lingkungan.
Dengan adanya RUU EBT, dapat mengakselerasi pemanfaatan EBT, Untung menutup dengan mengatakan bahwa pengesahan RUU EBT perlu dipercepat dan tidak boleh ditunda lagi, karena sudah banyak ditunggu oleh stakeholders dan masyarakat pada umumnya.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma mengatakan, pertemuan tersebut merupakan pertemuan kesekian kalinya untuk membahas komitmen terhadap pengembangan EBT di Indonesia. EBT perlu didorong untuk memenuhi target RUEN ataupun target NZE pada tahun 2060. RUU EBT ini akan menjadi payung hukum dan pendorong untuk pengembangan EBT di Indonesia.
Surya mengingatkan jangan sampai RUU EBT ini menjadi tidak implementatif dan akan menimbulkan masalah baru dikedepan harinya, bahwa subtansi RUU EBT masih banyak yang diperdebatkan namun bisa direvisi kedepannya, saat ini pengesahan RUU EBT sangat ditunggu oleh stakeholders.
METI menilai RUU EBT perlu segera diselesaikan untuk mendukung capaian netral karbon pada 2060. Di hadapan Presiden Joko Widodo saat the 10th Indo EBTKE ConEx 2021, Ketua Umum METI Surya Darma mengatakan bahwa regulasi tersebut perlu segera dibahas agar fokus bidang EBT dapat dikebut.
“RUU energi terbarukan perlu segera dibahas, agar fokus pada bidang energi baru terbarukan,” katanya melalui virtual, Senin (22/11/2021).
Lebih lanjut, dia mendorong regulasi ini tidak menyertakan bahasan terkait energi nuklir. Pasalnya, pengembangan pembangkit nuklir perlu dibahas secara terpisah dalam UU Ketenaganukliran. Selain itu, METI meminta agar peraturan terkait harga energi baru terbarukan turut menyertakan tata kelola yang baik. Bukan sekadar pola negosiasi yang tidak memberikan kepastian waktu dan usaha.
Surya Darma turut mendorong seluruh kementerian lembaga secara terpadu mengembangkan sumber daya manusia (SDM) unggul agar penguasaan teknologi dan industri energi terbarukan berjalan lancar.
“Kami masih mencatat beberapa pengembangan energi terbarukan belum sepenuhnya diselesaikan walaupun upaya tersebut sudah terlihat dari ESDM dan kementerian terkait lainnya,” terangnya.
Hingga kini RUU EBT masih dalam pembahasan di DPR. Beberapa kalangan memproyeksikan aturan ini akan selesai pada akhir 2021 atau awal 2022. Di sisi lain, agenda the 10th Indo EBTKE ConEx 2021 akan menjadi pertemuan seluruh stakeholder dalam dan luar negeri dalam upaya mengembangkan EBT.
Sekarang berbagai badan maupun perseorangan, termasuk di dalamnya dari kalangan perbankan sudah menunggu pengesahaan RUU EBT. Dengan disahkannnya RUU tersebut, maka kepastian aka nada, sehingga dalam berinvestasi sudah ada kejelasan.*