Energi Baru Terbarukan (EBT) terus diupayakan tingkat kemanfaatannya kepada msyarakat. Salah satu buktinya, yakni rencana Kementerian BUMN yang akan membangun holding panas bumi terbesar di dunia. Hanya saja, diharapkan tidak hanya infrastruktur hingga harga jual listrik dan lain yang selalu muncul ke permukaan. Tak kalah pentingnya dan tak boleh dilupakan, bagaimana ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar mumpuni di sektor ini?
Oleh : Erfandi Putra
Peralihan energi fosil menuju energi terbarukan membutuhkan terobosan baru. Perlu sebuah batu loncatan kalau kita mau beralih dari energi fosil masih menjadi energi hijau. Pengembangan energi terbarukan akan berhasil bila mampu mengatasi permasalahan -permasalahan seperti proyeksi kebutuhan listrik, finansial, perizinan, pembebasan lahan, smart grid, dan insentif pajak dan fiskal.
Permasalahan ini juga yang diatasi Eropa dan Amerika Serikat dalam melihat perkembangan EBT. Perusahan-perusahaan Eropa beralih dari perusahaan fosil menuju perusahaan EBT, tapi di Amerika Serikat, mereka tidak mengubah bisnis mereka, tapi melakukan dekarbonisasi.
Khusus persoalan keuangan, bagaimana pemerintah mampu mengatasi tarif, suku bunga (interest rate), jaminan atau collateral, skala proyek, dan kapasitas pengembang. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan investor asing. Nah di sinilah peran SDM EBT sangatlah diperlukan.
Dimana pun atau apa pun jenis pekerjaan yang kita hadapi, SDM menjadi kata kunci untuk sebuah keberhasilan. Demikian juga soal kesiapan SDM di bidang EBT yang masih menjadi pertanyaan sejumlah kalangan. Hal ini terkait dengan mulai “digarapnya” dengan serius EBT. Salah satu bukti yakni rencana pembentukan holding panas bumi. Dengan demikian diharapkan pula, capaian-capaian di sektor ini akan terus meningkat di masa mendatang.
Seperti diketahui, capaian-capaian di sektor EBT dapat dikata cukup menggembirakan. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, bauran EBT Indonesia hingga akhir 2020 masih berada di angka 11,51%. Ada pun pada 2025, pemerintah menargetkan bauran EBT bisa mencapai 23%. Untuk tahun 2020 sendiri, target bauran ET mencapai 13%. Kalau dirunut ke belakang, capaian 2019 untuk ET adalah 9,2%. Jadi year-on-year EBTKE dalam porsi bauran adalah 2,36 %.
Realisasi kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan (ET) hingga tahun 2020 mencapai 10.467 mega watt (MW). Terdapat tambahan pembangkit yaitu PLTA Poso sebesar 66 MW, PLTBm Merauke sebesar 3,5 MW, PLTM Sion sebesar 12,1 MW, dan PLTS Atap sebesar 13,4 MW.
“Dengan demikian, total jumlah pembangkit yang terpasang pada 2020 ialah sebesar 10.291 MW. Kendati, jumlah ini tidak cukup besar untuk mendorong bauran EBT yang lebih besar pula,” kata Dadan kepada Global Energi.
Banyak pembangkit yang jadwal operasinya mundur gegara pandemi Covid-19. Lalu, realisasi penyerapan biodiesel sepanjang tahun 2020 mencapai 8,4 juta kilo liter (KL) dari alokasi yang ditetapkan sebesar 9,55 juta KL. Tidak jauh berbeda dari realisasi operasional pembangkit listrik EBT, penurunan ini disebabkan oleh adanya pandemi Covid-19, seiring dengan menurunnya konsumsi solar.
Begitu pula dengan realisasi investasi di subsektor EBT yang mencapai 1,36 miliar dollar AS sepanjang 2020. Angka ini jauh lebih kecil daripada target investasi 2020 sebesar 2,02 miliar dollar AS. “Konservasi energi targetnya 8 juta dollar AS tercapainya 8 juta dollar AS,” kata Dadan.
Kemudian untuk bioenergi, tercapai investasi 108 juta dollar AS dari target 420 juta dollar AS. Aneka EBTKE tercapai sesuai target yaitu USD 540 juta. Untuk panas bumi tercapai 702 juta dollar AS dari target 1.050 juta dollar AS.
Dadan mengatakan, program EBT kedepannya, antaralain: penambahan kapasitas pembangkit EBT, akan berfokus pada PLTS, mensubtitusi energi primer/final menggunakan teknologi yang sudah existing, menjalankan program cofiring pada PLTU batubara. Konversi energi primer fosil melalui teknologi pembangkit antara lain misalnya untuk PLTD tadi digantikan dengan energi terbarukan dan pemanfaatan EBT non listrik juga akan dikembangkan (program Biodiesel 40-50%, penambahan green diesel dan green gasoline).
Ketersediaan SDM yang mumpuni sudah sepantasnyalah menjadi pemikiran para stakeholder di sektor EBT ini. Hal itu pulalah yang menjadi perhatian Ratna Juwita Sari, SE., MM., anggota Komisi VII, DPR-RI. Ratna mengatakan, kasus bocornya pipa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), PT Sorik Marapi Geothermal Plant (SMGP) di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Senin siang, 25 Januari 2021, sekitar pukul 11.00 WIB menewaskan 5 orang harus menjadi pengalaman berharga.
Kejadian ini menjadi catatan khusus dalam perjalanan pengembangan EBT di Tanah Air. Terutama bila dikaitkan dengan SDM yang mumpuni di sektor EBT.
Kasus kebocoran pipa PLTP, PT Sorik Marapi Geothermal Plant (SMGP) di Desa Sibanggor Julu harus menjadi pelajaran berharga. Apa artinya? Kita harus benar-benar mempersiapkan SDM dengan matang menyongsong dengan akan ditingkatkannya penggunaan energy EBT. Di sini pentingnya transfer knowlage dan lainnya.
Seperti diberitakan Majalah Global Energi edisi 113 (terbitan Maret 2021) bahwasannya Kementerian BUMN akan membangun holding panas bumi terbesar di dunia. Dengan adanya rencana prestisius ini, sudah barang tentu tidak hanya modal dan infrastrukut dan lainnya yang harus kita persiapkan. Sektor SDM pun tak kalah pentingnya untuk dipikirkan.
Sebelumnya, dalam rilisnya, Ratna mengatakan, pemerintah diminta terus mendorong kebijakan memutakhirkan kapasitas dan pengenalan SDM yang terkait dengan penerapan energi baru dan terbarukan yang potensinya sangat besar di Indonesia.”Kita perlu mempersiapkan sumber daya manusia yang siap untuk melaksanakan teknologi-teknologi yang dibutuhkan untuk pengembangan energi baru terbarukan,” katanya.
Menurut dia, besarnya beragam potensi energi baru dan terbarukan di Indonesia, antara lain potensi tenaga hidro mini/mikro sebesar 450 MW, biomassa 50 GW, energi surya 4,80 kWh/meter persegi/hari, dan energi nuklir 3 GW.
Saat ini pengembangan energi baru dan terbarukan mengacu kepada Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam Perpres disebutkan kontribusi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi primer nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 17 persen dengan komposisi bahan bakar nabati sebesar 5 persen, panas bumi 5 persen, biomassa, nuklir, air, surya, dan angin 5 persen, serta batu bara yang dicairkan sebesar 2 persen.
Dengan pemutakhiran SDM maka diharapkan juga dapat menjadi penopang kebutuhan energi baru dan terbarukan secara nasional. Komisi VII DPR juga tengah serius membahas RUU Energi Baru dan Terbarukan. “Menjadi pilihan yang benar-benar mendesak yang harus kita hasilkan, sehingga bisa meningkatkan bauran energi baru terbarukan sesuai dengan RPJMN yang tahun 2025 targetnya sebesar 23 persen,” kata Ratna.
Harapannya agar dengan pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang maksimal ke depannya maka bisa memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri. Sebagaimana diwartakan, Pemerintah berkomitmen untuk menjaga keberlanjutan dalam pemanfaatan energi bersih di sektor ketenagalistrikan, khususnya peningkatan pemanfaatan energi terbarukan, salah satunya melalui regulasi harga energi yang bersumber dari energi terbarukan.
Hal ini dibenarkan Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap, Yohanes Bambang Sumaryo. “Berdasarkan fakta-fakta di lapangan, kita ini masih ketinggalan dalam soal ketersediaan SDM di sektor energi terbarukan. Perlu ada langkah-langkah kongkrit. Apalagi menyongsong lahir holding panas bumi,” katanya.
Saat ini, SDM EBT yang masih kurang di sektor mana saja? Tentang ini Yohanes mengatakan, seperti disainer/planner/perancang, engineer dan teknisi, analis, economist semuanya dapat dikatakan kurang mumpuni. Ini harus ada langkah-langkah konkret
Di perbankan misalnya, kata Yohanes, sangat sedikit yang tahu betul tentang sifat Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Dimana EBT ini yang pada dasarnya long term di atas 25 tahun (dan sangat handal) usia teknisnya sehingga juga harus dilihat sebagai barang yang awet.
Hanya saja, kebanyakan masih dianggap sebagai/seperti permesinan biasa yang usia teknisnya mungkin 5-7tahun saja. Apa akibatnya?
“Pembiayaan yang diberikan juga hanya untuk 7 tahun saja dengan tingkat resiko kegagalan produksi yang dianggap tinggi. Akibatnya ya capital cost atau bunga tinggi,” katanya.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Ia mengatakan, kita harus mencetak/melahirkan economist yang ngerti EBT yang bekerja di perbankan, Kemenkeu, Bappenas, PLN, Kementerian BUMN, ESDM dan lainnya.
Tantangan
Kemampuan SDM untuk mengoperasikan dan memelihara fasilitas energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia, dinilai masih sangat terbatas. Kondisi inilah yang selalu menjadi perhatian dari berbagai lembaga, baik nasional maupun internasional. Persoalannya yang sudah cukup lama adalah kemampuan SDM untuk mengoperasikan dan memelihara fasilitas EBT, baik yang sedang dan sudah dibangun. Kemampuan SDM (capacity building) kita masih sangat terbatas.
Indonesia selalu berpacu antara membangun infrastruktur dan membangun manusia. Bertolak pada kenyataan inilah, pemerintah untuk secepatnya memperhatikan kesiapan dengan meningkatkan kemampuan kapasitas SDM dalam negeri agar sejalan dengan kesiapan peningkatan pemanfataan EBT.
“Ketersediaan SDM EBT, merupakan salah satu tantangan dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia selain masalah regulasi dan kepastian berusaha. Karena itu penyimpanan SDM yang kompeten harus dilakukan dengan baik untuk bisa mengisi dan berperan dalam pengembangan energi terbarukan. Kesiapan ini akan semakin diperlukan jika dikaitkan dengan percepatan pengembangan energi terbarukan untuk memenuhi target KEN,” kata Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma kepada Global Energi, Rabu (13/4/2021).
Yang sangat menonjol kekurangan SDM yang perlu dipersiapkan dengan baik adalah bidang panas bumi, karena untuk mengembangkan energy ini diperlukan keahlian khusus yang tidak dapat diisi sembarangan. Karena itulah untuk panas bumi, sudah dilakukan sebuah kajian khusus pada tahun 2014 dan 2015 untuk mengantisipasi percepatan panas bumi dalam beberapa tahun ke depan.
“Keahlian bidang panas bumi dibutuhkan waktu antara 5-6 tahun untuk menyiapkan keahlian madya sebelum menjadi tenaga ahli,” katanya.
Skenario Penyediaan SDM
Surya mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan SDM tersebut memang dilakukan pola penyiapan dengan skenario jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Untuk jangka pendek, bisa saja dgn mengundang tenaga asing. Karena itu wajar juga jika dalam kurun waktu tertentu masih ada tenaga asing dalam jumlah tertentu. Hanya saja, jika kita sudah menyiapkan sendiri, tentu bisa dipadukan untuk jangka menengah. Sedangkan untuk jangka panjang bisa digunakan mayoritas SDM dalam negeri yang sudah disiapkan.
Beberapa perguruan tinggi di Indonesia sudah mulai melirik juga ke kesiapan pada energi terbarukan. Sebut saja ada ITB, UI, Unsyiah, Unimal, Unibraw, Universitas Pertamina, Universitas Telkom dan lainnya. Ada juga beberapa SMK yang sudah menyiapkan diri ke arah itu. Hal ini, sejalan dengan mulai berubahnya penggunaan energi ke arah energi terbarukan.
“Untuk SDM, saya kira perlu diluruskan yang sudah sering saya sampaikan. Bukan SDM EBT, tapi SDM ET, energi terbarukan. Kalau EBT bukan saja energi terbarukan, tapi juga bisa energi fosil. Karena itu harapannya tentu perguruan tinggi juga harus tidak keliru memahami hal ini agar sesuai dalam menyiapkan SDM ke depan,” katanya.
Dikatakan, untuk SDM Minyak dan Gas (migas), saat ini memang sudah mulai terbatas dengan berlakunya energi transisi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sekarang bagaimana kita dapat menyediakan SDM ET, sehingga rencana besar, seperti Kementerian BUMN yang akan mebnagun Holding Panas Bumi tidak mengalami “gangguan” dalam perjalanannya.
Bagaimana dengan besaran upah untuk SDM ET di Indonesia?Ia mengatakan, soal ini untuk sekarang hampir sama di banyak negara. Memang beberapa negara Timur Tengah di masa lalu sangat menarik SDM kita dengan upah yang lebih tinggi. Untuk ET, mungkin agak sedikit berbeda.
Bagi Indonesia sendiri justru menjadi daya tarik bagi para pengembang internasional. Hanya saja, selama ini karena para investor masih wait and see sejak ada upaya merevisi Permen 50 tahun 2017 tentang harga listrik ET.
Padahal ET di Indonesia sudah direncanakan sebesar 23% pada tahun 2025. Ini berarti ada peningkatan yang signifikan dari posisi saat ini yang masih kisaran 10%-11% dalam.bauran energi nasional.
Kesiapan PT
Beberapa tahun terakhir ini, sejumlah Perguruan Tinggi (PT) baik negeri maupun swasta, sudah berancang ancang untuk membuka Prodi EBT. Ini merupakan langkah positif yang harus kita apresiasai. Karena dengan dibukanya Prodi EBT pada akhirnya akan menjawab masih kurangnya SDM di sektor ini.
“Secara umum kemampuan SDM nasional sudah semakin baik. Ini karena sudah mulai terjadi transfer of knowledge dari perusahaan2 EBT global yg melakukan pengambangan usaha di Indonesia,” kata Dadan.
Sektor panas bumi masih ada yang menggunakan tenaga ahli asing terutama untuk kegiatan survey. Selian itu, kegiatan forecasting untuk tenaga angin. “Perlu terus dilanjutkan link and match antara dunia pendidikan termasuk perguruan tinggi dengan industri EBT,” katanya.
Apa kata dunia perguruan tinggi tentang ini semuanya? Prof. Dr. RY Perry Burhan, M.Sc., Direktur Politeknik Energi dan Mineral Akamigas (PEM-Akamigas) mengatakan, ketersediaan SDM di bidang EBT memang tidak mungkin ada secara instan. Mengapa? Karena, sebelumnya belum ada persiapan jangka panjang, tetapi untuk mengiringi perkembangan EBT yang terus digalakkan ini tidak boleh bergantung kepada ketersediaan EBT yang khusus dididik untuk itu saja.
“Kompetensi EBT itu tentu tidak berdiri sendiri, nah, pemilik kompetensi yang serumpun dengan EBT tentunya dapat diberikan tambahan kecakapan EBT, sehingga ketersediaan SDM berkompetensi EBT dapat dipenuhi dalam waktu yang tidak begitu lama,” katanya.
Bagaimana PEM-AKA Migas menjawab tantangan ini?Ia mengatakan, tantangan ini tentu harus dijawab dengan siap oleh PEM Akamigas. Sejak beberapa tahun terakhir PEM Akamigas sekalipun tidak secara eksplisit mempunyai program studi EBT, namun pada program studi Teknik Produksi Migas ada bidang khusus yang mendalami keahlian tentang Panas Bumi.
Keahlian EBT di bidang energi surya dan hidro saat ini sedang dikembangkan melalui kerjasama dengan SECO Swiss untuk menyusun kurikulum sehingga diproyeksikan pada tahun 2022 program studi EBT terkait surya dan hidro akan dapat diluncurkan. Persiapan sarana pendukung secara bertahap sudah disentuh sejak tahun 2018.
Secara khusus, PEM Akamigas tidak mempunyai program studi EBT, tetapi sejak tahun akademik 2014/2015 ada bidang keahlian khusus Panas Bumi yang bernaung di bawah program studi Teknik Produksi Migas. Keahlian ini sudah meluluskan 28 orang lulusan yang sudah bekerja di Geodipa, HSE Officer di Pertamina, beberapa PLTU, PLTG dan lain-lainnya.
Lalu bagaimana dengan tenaga pengajar atau dosen? Dosen yang mengampu bidang EBT khususnya Panas Bumi diramu dari dosen internal PEM Akamigas sesuai dengan kompetensinya dari program studi Teknik Produksi Migas, Teknik Instrumentasi Kilang dan Teknik Mesin Kilang. Di samping itu PEM Akamigas juga mendatangkan dosen praktisi bidang panas bumi dari industri panas bumi, seperti dari Geodipa dan PHE.
PEM Akamigas selama ini memang dikenal sebagai Lembaga Pendidikan di sub sektor minyak dan gas bumi, tetapi seiring dengan perkembangan kebutuhan pasar, maka PEM Akamaigas mulai dikembangkan sebagai perguruan tinggi vokasi di bidang energi dan mineral, sesuai dengan nama besarnya.
Kurikulum masing-masing prodi dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pasar masa depan khususnya terkait EBT. Program studi baru terkait EBT juga sedang dirintis untuk mengiringi kebutuhan tenaga kerja di industri bidang EBT.
Keberadaan atau ketersediaan SDM sekto EBT yang mumpuni itu diharapkan bisa beradaptasi langsung dengan dunia kerja serta mampu menjawab tantangan percepatan pemenfaatan EBT di Indonesia.
Sementara itu, yang tak kalah pentingnya yakni SDM merupakan perangkat utama bagi investor merasakan manfaat berinvestasi di energi bersih. Kita selalu terfokus pada aspek teknis, sumber daya alam, teknologi dan proses bisnis yang mendapat banyak sorotan. Apabila kita berbicara konteks yang lebih luas, semua yang kita sebutkan tadi tidak lepas dengan keterlibatan SDM yang ada di dalamnya.
Kualitas SDM yang andal diharapkan mampu mendongkrak institusi yang produktif, inovatif, dan kompetitif. Makanya kolaborasi government dan swasta merupakan sesuatu yang tidak bisa hindarkan. Pemerintah harus bisa mengadposi teknologi dan kolaborasi apa akan kita kembangkan. Tidak banyak SDM yang punya skill di sektor EBT. Kalaupun ada skillnya belum sama sehingga ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. *