Seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia, harga bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah negara ikut terkerek pula. Tak terelakkan juga di Indonesia. Lalu pemerintah berencana untuk melakukan pembatasan pembelian, karena sudah menggunung subsidinya. Ini yang mengganggu APBN.
Seperti diketahui, belanja subsidi pada 2022 membengkak jadi Rp 578,1 triliun akibat kebijakan pemerintah yang menahan harga bahan bakar minyak (BBM), LPG 3 kg dan tarif listrik di bawah 3.000 VA. Anggaran belanja subsidi tadinya adalah Rp 207 triliun, namun diubah menjadi Rp 283,7 triliun. Namun dikarenakan konsumsi energi yang meningkat, maka subsidi bisa mencapai Rp 284,6 triliun.
Pemerintah juga harus membayar kompensasi kepada PT Pertamina persero dan PT PLN persero karena sudah menahan harga dalam dua tahun terakhir. Totalnya adalah Rp 293,5 triliun. “Anggaran subsidi akan melebihi Rp 500 triliun” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, beberapoa waktu lalu.
Lebih mengkhawatirkan lagi, sejumlah konsumsi BBM bersubsidi meningkat pesat. Terutama sejak ada kenaikan harga BBM non subsidi. Misalnya pertalite dan solar, kedua BBM bersubsidi ini dikabarkan meingkat pesat konsumsinya. Maklum saja, orang yang biasa beli Pertamax , selanjutnya beralih ke Pertalite. Mengapa? Kareda disparitas harganya yang menyolok.
Sementara, di sisi lain, Badan Pengendalian Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengingatkan kepada pemerintah akan kuota BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar. Menurut perkiraannya, dengan rasio penyaluran Pertalite dan Solar yang sudah melebihi 50 persen, kuota BBM subsidi akan habis pada bulan Oktober atau November 2022.
“Seperti yang kita sampaikan di berbagai tempat, Oktober atau November bisa sudah tidak ada lagi Pertalite dan Solar. Kecuali ada kebijakan untuk menambah kuota (BBM subsidi),” kata Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman dalam acara Polemik MNC Trijaya bertajuk Untung Rugi Subsidi BBM, Jakarta, Sabtu (6/8/2022).
Seperti diketahui, volume penyaluran BBM subsidi jenis Solar mencapai 8,3 juta kilo liter (KL) hingga Juni 2022. Sementara kuota solar subsidi dipatok sebesar 14,9 juta KL. Adapun, realisasi penyaluran pertalite sudah menembus 14,2 juta KL. Padahal, kuota yang ditetapkan pemerintah sebanyak 23 juta KL.
Bertolak pada kenyataan ini, diharapkan kebijakan pembatasan pembelian BBM bersubsidi yang tengah disusun bisa segera diselesaikan. Pemerintah sendiri hingga saat ini belum merampungkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 yang bakal menjadi payung hukum pembatasan pembelian BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar. Aturan tersebut tak kunjung terbit, padahal konsumsi BBM bersubsidi telah melampaui proyeksi awal tahun ini.
Selain itu, disparitas harga keekonomian BBM bersubsidi juga makin lebar. Soal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah berulang kali menyampaikan kemampuan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022 yang terbatas untuk menambal selisih harga keekonomian BBM bersbubsidi.
Harga keekonomian Pertalite semestinya berada di posisi Rp 17.100 per liter atau terpaut lebih 100 persen dari harga yang ditetapkan pemerintah saat ini Rp 7.650 per liter. Untuk “menyelamatkan” APBN, memang tak ada jalan lain kecuali pembatasan. Hanya saja, payung hukum yang akan mengatur pembatasan tersebut harus memperhatikan keadilan. Atau pembatasan itu urung diundangkan, karena harga minyak dunia belakangan ini sudah di bawah 100 dollar per barelnya?. *