Sejumlah kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas di Tanah Air beramai-ramai mengajukan perubahan kontrak bagi hasil (production cost sharing/PSC). Sebelumnya menggunakan skema gross split, selanjutnya mengajukan skema lama, yakni ke cost recovery. Masalah keekonomian yang selama ini mengganjal pengembangan lapangan minyak dan gas bumi (migas), menjadi alasan kuat KKKS termasuk PT Pertamina (Persero) untuk berpindah haluan ke rezim cost recovery. Mengapa?
Oleh: Erfandi Putra
Sebagai informasi, skema gross split ialah skema perhitungan bagi hasil pengembangan wilayah kerja migas antara pemerintah dan KKKS diperhitungkan di muka. Pemerintah tidak ikut campur terhadap proses pengadaan barang dan jasa kegiatan usaha hulu migas. Sedangkan, skema cost recovery ialah kontrak bagi hasil penggantian biaya operasi bagi wilayah kerja oleh negara. Jadi biaya operasi dikeluarkan lebih dahulu oleh kontraktor untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan produksi migas.
Antusiasme KKKS mengajukan perubahan kontrak blok migas yang telah beroperasi menjadi cost recovery tersebut menandakan skema bagi hasil gross split sudah tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini sehingga membuat pengembangan lapangan migas menjadi tidak ekonomis?
Terlebih, risiko investasi di sektor hulu migas masih terbilang tinggi padahal membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tak heran jika banyak lapangan migas terlantar lantaran terkendala masalah keekonomian.
“Semua ini kan karena perhitungan keekonomian. Sangat mungkin KKKS yang ini memang yang cocok menggunakan skema gross split. Mungkin saja yang satunya lagi lebih cocok menggunakan cost recovery. Tergantung dimana langan itu berada dan lainnya,” kata Sekjen Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Elan Biantoro kepada Global Energi, Jumat (29/3/2024).
Elan mengatakan, setiap negara punya kelebihan dana kekurangan untuk keduanya. Artinya negara ini lebih cocok menggunakan skema groos split. Negara satunya lebih cocok menggunakan skema cost cost recovery. Sangat tergantung dimana kegiatan tersebut berada.
Semua itu ada latar belakangnya dalam penggunaannya mengapa menggunakan gross split dan cost recovery. Ini sangat tergantung kepada alamnya, sumber alamnya hingga konstitusi negara yang bersangkutan.
Misalnya di Amerika Serikat mengaopa banyak menerapkan skema gross split? Karena aturan di negara tersebut menyebutkan bahwasanya, siapa yang mmiliki tanah yang ada sumber minyaknya atau gas, maka dia yang memiliki minyak tersebut. Silahjkan dibor, teta[pi negara mempunyai royalti.
Di Indoenesioa, berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan tanah dan isisnya dikuasi negarta. Kalau ada minyaknya, itu hak negara. Karena kitu yang paling cocok di Indonesia menggunakan groos split.
Lalu bagaimana sikap Aspermigas, terkait dengan UU Migas yang belum selesai sampai sekarang, Aspermigas berharap agar kuasa pertambangan diserahakan kepada badan usaha, Bukan kepada lembaga poemeriuntah.
Lalu mengapa sejumlah KKKS mengajukan ke skema cost recovery? Tentang ini Elan mengatakan? Ini semua terkait dengan tingkat resiko, karena masalah resiko dan ketidakpastian masih tinggi di suatu wilayah kerja.
“Kami hanya berharap izin di sektor ini dipermudah agar investor datang,” kata Elan.
Selanjutnya bagaimana keterkaitan dengan produksi migas? Tentang ini dia mengatakan, terkait dengan harga migas itu sangat terkait dengan efek global. Kalau yang menggunakan skema gross split kalau harga minyak 80 dollar AS tak ada masalah. Sebaliknya kalau harga minyak 40 dollar AS. Itu merupakan bencana, tetapi kalau skema cost recovery kalau harga minyak kisaran 40 dollar AS belum tentu rugi.
Langkah PHE
Seperti PT Pertamina Hulu Energi (PHE) resmi mengajukan permohonan perubahan skema kontrak bagi hasil dari gross split menjadi cost recovery di empat blok minyak dan gas bumi (migas) yang dikelolanya pada awal tahun ini. Keempat blok yang diajukan untuk migrasi menjadi cost recovery itu, di antaranya Blok Offshore Southeast Sumatra (OSES), Offshore North West Java (ONWJ), Attaka, dan Tuban East Java.
Direktur Utama PHE Chalid Said Salim mengatakan, permohonan pengajuan pindah skema kontrak itu sudah didiskusikan bersama dengan pemerintah sejak tahun lalu. Hanya saja, kata Chalid, proposal resmi baru disampaikan awal tahun ini.
“Diskusinya sudah lama, tetapi di-submit secara resmi baru awal tahun,” kata Chalid saat ditemui di kompleks DPR, Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Chalid mengatakan, pengajuan alih skema kontrak bagi hasil itu dilakukan untuk mendukung keekonomian lapangan yang telah berusia tua.
“Banyak ya, keekonomian dan sebagainya,” kata Chalid.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat sebagian lapangan migas tidak dapat dikembangkan lantaran terkendala urusan keekonomian. Kendala investasi itu disebabkan karena kontrak bagi hasil atau production cost sharing (PSC) yang dinilai tidak menguntungkan bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Noor Arifin Muhammad mengatakan, lebih dari lima PSC terpaksa jalan di tempat lantaran terganjal isu keekonomian tersebut.
Noor menuturkan, beberapa KKKS tengah mengajukan permohonan insentif tambahan dan kemungkinan peralihan kontrak dari gross split rezim lama menjadi cost recovery.
“Tidak bisa jalan karena belum ekonomis,” kata Noor di sela-sela agenda the 4th International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas Industry 2023 (ICIUOG) di Badung, Bali, Kamis (21/9/2023).
Sementara itu, SKK Migas menganggarkan dana cost recovery atau pengembalian biaya kontraktor seluruhnya sebesar 8,3 miliar dollar AS setara dengan Rp 129,23 triliun (asumsi kurs Rp 15.570 per dollar AS) tahun 2024.
Alokasi cost recovery itu lebih tinggi dari realisasi cost recovery yang diberikan pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sepanjang 2023 di angka 7,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp119,88 triliun. Kendati demikian, alokasi cost recovery tahun ini tidak bergeser dari target 2023 di angka yang sama, 8,3 miliar dollar AS.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, anggaran cost recovery tahun ini diharapkan tidak bergeser dari pagu yang telah ditetapkan pemerintah. Kendati, kataya, sejumlah KKKS telah mengajukan peralihan skema kontrak bagi hasil dari gross split menjadi cost recovery saat ini.
“Ada beberapa KKKS yang akan mengusulkan perubahan dari gross split ke cost recovery tetapi tetap kita akan targetkan untuk tidak melampui bujet yang diberikan sebesar US$8,3 miliar,” kata Dwi saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII, Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Asumsinya tahun ini, pendapatan kotor atau gross revenue industri hulu migas dapat mencapai 33,7 miliar dollar AS atau lebih rendah dari pendapatan sepanjang tahun sebelumnya di level 34,3 miliar dollar AS. Lewat asumsi itu, bagian pendapatan negara dikunci di angka 12,9 miliar dollar AS dan bagian kontraktor 12,5 miliar dollar AS. Sisanya, cost recovery sebesar 8,3 miliar dollar AS.