Masih baru diingatkan kita dengan adanya berita ‘Bulan Juli 2023 ini Indonesia bersiap untuk kehilangan dua investor asing kelas kakap”. Ya …, dua perusahaan minyak dan gas bumi (migas) dunia akan resmi hengkang dari proyek migas di Tanah Air.
Kedua raksasa migas asing tersebut yaitu Shell dan Chevron Indonesia Company (CICO). Shell akan melepas kepemilikan hak partisipasi atau Participating Interest (PI) di Blok Masela, Maluku, sebesar 35%. Dan Chevron akan melepas kepemilikan hak partisipasi dan juga pengelolaan proyek gas laut dalam atau Indonesia Deepwater Development (IDD) di Kalimantan Timur.
Sebelumnya, di penghujung 2021, diberitakan setelah Royal Dutch Shell dan Chevron yang berencana untuk melepaskan hak partisipasinya di blok migas di Tanah Air, yang terbaru adalah ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd (CIHL) yang menjual 100% sahamnya kepada PT Medco Energi International Tbk (MEDC).
Lalu pertanyaan kita muncul, “Ada apa dengan investor migas di Indonesia, satu-dua pada hengkang. Apakah benar investasi migas di Indonesia sudah tidak menarik lagi di mata para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), khususnya penanam modal asing?
Apakah ini menendakan bahwasanya iklim investasi, khususnya hulu migas di Indonesia kalah kompetitif ketimbang negara-negara lain. Pastinya, Indonesia tidak mampu menggaet investasi-investasi skala besar dari perusahaan migas dunia atau major International Oil Companies (IOCs).
Bisa jadi, investor migas asing meninggalkan Indonesia tidak semata-mata karena tidak ekonomis, akan tetapi karena kalah kompetitif dengan portofolio investasi dan kesempatan investasi para IOCs majors (raksasa investor migas asing) itu di tempat lain. Padahal, berdasarkan data yang ada, secara geologis cadangan migas RI masih cukup besar. Hanya saja, karena lokasi cekungan berada di laut dalam, maka investor asing memilih untuk hengkang dari Indonesia.
Sebenarnya data geologis menyebutkan bahwa cadangan migas Indonesia masih cukup besar. Hanya lokasinya di cekungan laut dalam, yang sulit dijangkau menjadi salah satu penyebab investor hengkang. Masih ada sejumlah persoalan yang menjadi kendala masuknya investor.
Sebut saja belum adanya kepastian hukum. Oleh karena itu, komisi dewan yang membidangi masalah energi itu diharapkan segera merevisi UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas segera diselesaikan pada tahun 2023. UU Migas yang baru akan dapat memberikan kepastian hukum dan menarik minat investasi hulu migas. Sebab di tengah kondisi seperti ini setiap investor membutuhkan kepastian hukum. Agar hengkangnya perusahaan migas seperti Total, Chevron, ConocoPhillips, dan Shell di Blok Masela yang terjadi sekarang ini tidak terulang di masa mendatang.
Segera selesaikan Revisi UU Migas. Apa gunanya? Tak lain hal tersebut sebagai payung hukum penguatan kelembagaan dan kepastian investasi hulu migas di Indonesia. Penyelesaian revisi undang undang Migas mendesak dilakukan, karena saat ini Investasi di sektor Migas Indonesia mengalami penurunan. Begitupun dengan lifting Migas juga turun.
Revisi Undang-Undang Migas ini bakal menjadi inisiatif DPR untuk dapat mengakselerasi pembahasan muatan yang termaktub dalam peraturan payung hulu Migas nasional.
Tidak adanya kepastian hukum di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia menjadi salah satu penyebab hengkangnya perusahaan migas kelas kakap dari proyek hulu migas di Indonesia. Padahal, Indonesia membutuhkan para investor tersebut untuk menggenjot produksi migas nasional. Ini sebetulnya terjadi lantaran pembahasan revisi UU Migas tak kunjung selesainya.
Di sini diperlukan keseriusan pemerintah untuk segera membahas revisi UU Migas. Dengan begitu akan memperkokoh legitimasi hukum SKK Migas yang saat ini hanya bersifat sementara.*