Hidrogen adalah sumber energi dunia masa depan yang sejak dekade terakhir menjadi fokus utama pengembangan energi di berbagai negara maju. Sebagai unsur paling sederhana dan paling melimpah di bumi, hidrogen mudah berikatan dengan unsur kimia lainnya seperti air, hidrokarbon, atau alkohol. Hidrogen juga terkandung dalam biomassa alami, baik tumbuhan maupun hewan. Oleh karenanya, hidrogen dianggap sebagai pembawa energi bukan sebagai sumber energi.
Oleh : Natarianto Indrawan, PhD, Praktisi dan Peneliti Pengembangan Teknologi Hidrogen di Departemen Energi, Amerika Serikat
Potensi energi hidrogen yang melimpah dan keberadaannya yang ramah lingkungan dipercaya dapat menurunkan tingkat emisi global saat ini ke level nol (zero emission) hanya dalam beberapa dekade mendatang. Hidrogen sebagai energi memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan energi konvensional dan terbarukan lainnya termasuk baterai. Salah satu keunggulan yang utama adalah hidrogen memiliki densitas energi yang tinggi, sebesar ± 140 MJ/kg, hampir tiga kali lipat lebih tinggi dari gasoline dan enam kali lipat lebih tinggi dari batubara. Gambar 1
Sebagai bahan bakar kendaraan, satu kilogram hidrogen dapat digunakan untuk menempuh 140 km perjalanan dan menggantikan 10 liter diesel atau gasoline tanpa mengeluarkan emisi kecuali air. Selain itu, infrastruktur untuk pengembangan hidrogen pada prinsipnya di hampir semua negara telah tersedia yaitu dengan pemanfaatan jaringan pipa gas alam.
Teknologi Produksi Hidrogen
Berdasarkan proses produksi, hidrogen dikategorikan menjadi beberapa tipe: Hidrogen hijau (green hydrogen), hidrogen konvensional atau abu-abu (grey hydrogen), hidrogen biru (blue hydrogen), dan hidrogen coklat (brown hydrogen). Hidrogen hijau adalah hidrogen yang diproduksi melalui elektrolisis yaitu proses pemisahan molekul hidrogen dan oksigen dari air, sedangkan hidrogen konvensional atau abu-abu yakni hidrogen yang diproduksi dari gas alam (tanpa carbon capture) yang mengeluarkan emisi karbon dioksida dalam proses sintesisnya. Sedangkan hidrogen biru adalah hidrogen yang diproduksi dari gas alam dengan menggunakan carbon capture, dan hidrogen coklat adalah produksi hidrogen yang berbasis batubara. Selain di atas adalah hidrogen yang mengeluarkan emisi negatif yang diproduksi dari material tidak termanfaatkan atau sampah yang masih memiliki kadar organik (karbon). Gambar 2 menampilkan perbedaan dari masing-masing kategori ini.
Gambar 2. Klasifikasi produksi hidrogen menurut proses dan bahan bakunya.
Dengan perkembangan yang pesat khususnya, solar power (PLTS) dan wind power (PLTB), maka energi masa depan dapat diperoleh dengan murah, yang secara langsung akan berimbas pada biaya produksi hidrogen hijau (i.e., produksi hidrogen melalui elektrolisis air). Diperkirakan, hidrogen hijau akan dapat memenuhi total konsumsi energi global sebesar 15-20%, dimana porsi tersebut tidak mudah dipenuhi jika hanya bergantung pada teknologi PLTS, PLTB, dan baterai. Keuntungan energi hidrogen dibandingkan dengan energi dari PLTS, PLTB dan baterai, adalah densitas energi yang tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk transportasi jarak jauh, seperti truk, pesawat, dan kapal laut. Selain itu, hidrogen lebih tahan untuk penyimpanan jangka panjang dan dapat pemanfaatannya dapat langsung menggunakan pipa gas alam yang sudah tersedia dengan ratio blending maksimum 10%.
Keekonomian Energi Hidrogen
Perbandingan biaya produksi hidrogen (levelised cost of hydrogen/LCOH) saat ini dapat dilihat pada Gambar 3. Biaya produksi hidrogen terendah diprediksi dapat dicapai pada level ± 1.5 USD/kg, melalui teknologi steam methane reforming (SMR) gas alam yang dilengkapi carbon capture storage (CCS) pada level harga gas alam sebesar 3 USD/mmbtu. Biaya produksi hidrogen juga tergolong rendah bilamana menggunakan teknologi PLTB yang memiliki biaya produksi 0.023 USD/kWh (seperti saat ini di Brazil dan Saudi Arabia) dan teknologi elektroliser berbiaya 200 USD/kW [2]. Namun, kendala utamanya adalah kecepatan angin yang baik dan stabil, setidaknya harus tersedia sekurangnya 4,161 jam per tahun (~47.5%), dan biaya teknologi elektroliser yang saat ini masih di kisaran 840 USD/kW .
Gambar 3. Biaya produksi hidrogen dari berbagai sumber energi melalui teknologi elektroliser, dengan asumsi biaya teknologi (capital cost) elektroliser saat ini 840 USD/kW (efisiensi 65%), faktor kapasitas PLTB 48% dan faktor kapasitas PLTS 26%.
Pengembangan Energi Hidrogen Global
Di AS, pengembangan energi hidrogen dimulai sejak pemerintahan Bush, yang saat itu disebut sebagai freedom fuel. Saat ini, di bawah presiden terpilih, Joe Biden, pemerintah AS memfokuskan pengembangan energi hidrogen sebagai bagian dari program energi bersih dengan total anggaran 11 triliun USD untuk tiga dekade mendatang [3]. Target utama program hidrogen ini adalah untuk menekan biaya produksi hidrogen hijau (produksi hidrogen melalui teknologi elektrolisis) ke level biaya produksi hidrogen konvensional (produksi hidrogen melalui gas alam). Sebagaimana pengembangan energi terbarukan lainnya, pengembangan energi hidrogen di AS diprakarsai oleh negara bagian California melalui kebijakan Low Carbon Fuel Standard yang telah diterapkan sejak 2009 dimana setiap kendaraan direkomendasikan untuk menggunakan baterai dan hidrogen. Di Los Angeles misalnya, saat ini blending hidrogen telah dilakukan di jaringan pipa gas sebesar 4% dan akan terus ditingkatkan hingga 10% dalam beberapa tahun mendatang .
Departemen Energi AS saat ini telah menyediakan pendanaan riset sebesar 100 juta dollar untuk produksi hidrogen hijau sebagai bahan bakar truk. Sebuah fasilitas produksi hidrogen dengan konsep lebih baik dari hidrogen hijau (greener than green hydrogen) saat ini sedang dikerjakan di Lancaster, California. Fasilitas tersebut akan mengolah sampah biomassa sebanyak 110 ton/hari untuk produksi hidrogen sebesar 11 ton/hari melalui teknologi gasifikasi plasma-assisted. Melalui teknologi ini, kebutuhan energi untuk proses tidak lebih dari 2 kW untuk produksi hidrogen sebesar 1 kg/jam; sebagai perbandingan, untuk tingkat produksi hidrogen yang sama, keperluan energi untuk proses hidrogen hijau (via elektrolisis) sebesar 45-60 kW.
Uni Eropa sejak 2020 lalu telah memberikan anggaran sebesar 550 miliar dollar untuk pengembangan hidrogen hijau termasuk untuk penyimpanan (storage) dan transportasinya. Komisi Uni Eropa juga telah menetapkan anggaran sebesar 430 miliar dollar hingga 2030.
Di Jerman sebagi contoh, energi hidrogen mulai dikembangkan sejak 2006. Pada Juni 2020 lalu, pemerintah Jerman memberikan anggaran 7 miliar Euro untuk pengembangan hidrogen hijau dan 2 miliar Euro untuk kolaborasi internasional. Saat ini penggunaan hidrogen di jaringan pipa gas di Jerman telah mencapai 10%, sebagai yang tertinggi di dunia saat ini.
Di Spanyol, sejak Oktober 2020 lalu, sebuah proyek berlokasi di Puertollano dan Palos de la Frontera yang menggunakan empat plant elektroliser skala besar (kapasitas total 800 MW, dengan total investasi 1.8 miliar dollar), telah di-launching yang diharapkan dapat memberikan kontribusi produksi energi sebesar 20% dari target total produksi energi hidrogen hijau. Dalam pengembangan ini, pemilik proyek, Iberdrola, bekerjasama dengan Nel Hydrogen Electrolyser, sebuah perusahaan energi berbasis di Oslo, Norwegia.
Di Jepang, pada Oktober 2020 lalu, emisi nol ditargetkan tercapai di seluruh Jepang pada 2050. Untuk mencapai itu, sejak awal tahun lalu, fasilitas produksi hidrogen hijau dengan kapasitas 10 MW, dengan nama Fukushima Hydrogen Energy Research Field (FH2R), yang diklaim terbesar di dunia saat ini, telah di bangun di area Fukushima. Kapasitas produksi hidrogen pada fasilitas tersebut setara dengan 100 kg atau 1200 m3/hari, dengan pasokan energi dari PLTS di atas lahan seluas 180,000 km2. Dengan kapasitas tersebut, diperkirakan cukup untuk memenuhi 560 kendaraan fuel cell setiap hari [5]. Fasilitas ini dibangun atas kerjasama antara Toshiba Energy Systems & Solutions Corporation (Toshiba ESS), New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO), Tohoku Electric Power Co, and the Iwatani Corporation.
Di Korea Selatan, roadmap Hydrogen Economy telah ditetapkan sejak Januari 2019 dengan target mencapai 6.2 juta kendaraan fuel cell dan 1200 stasiun pengisian hidrogen. Kendaraan bus berbahan bakar hidrogen ditargetkan sebanyak 2000 unit pada 2022 dan 41000 unit pada 2040. Roadmap juga menargetkan 15 GW pembangkit listrik dapat dipenuhi oleh pembangkit listrik fuel cell pada 2040 .
Di Saudi Arabia, sejak awal tahun lalu telah ditandatangani kesepakatan kerjasama antara pemerintah Saudi Arabia dengan Air Product untuk membangun sebuah kota di wilayah barat utara Saudi Arabia dilengkapi fasilitas produksi hidrogen hijau (650 ton/hari) dengan total anggaran 500 miliar dollar. Proyek raksasa ini dibangun atas kerjasama antara Air Products, ACWA Power and NEOM [7]. Hidrogen hijau yang dihasilkan akan digunakan untuk bahan baku produksi Ammonia (NH3) dengan target produksi 1.2 juta ton/tahun. Teknologi produksi hidrogen hijau (via elektrolisis) akan menggunakan teknologi thyssenkrupp, sedangkan proses pemisahan nitrogen dari udara akan menggunakan teknologi Air Products, dan produksi ammonia akan menggunakan teknologi Haldor Topsoe. Fasilitas ini ditargetkan beroperasi pada 2025 dan diharapkan dapat mengurangi emisi CO2 lebih dari 3 juta ton/tahun.
Urgensi Pengembangan Hidrogen di Indonesia
Hidrogen dapat menjadi sumber energi primer dan andalan bagi masa depan pembangunan di tanah air. Kontras dengan energi fosil yang terus semakin menipis cadangannya, energi hidrogen dapat berbasis konvensional maupun terbarukan serta dapat terus ditingkatkan keberadaannya melalui implementasi teknologi yang tepat guna. Dengan total sumber daya alam yang bervariasi, termasuk diantaranya batubara sebesar 39.6 Gt dengan total cadangan 24.2 Gt pada 2018 , energi biomassa sebesar 50 GW, dan cadangan gas alam sebesar 108.4 TSCF [8, 9], Indonesia dapat menjadi salah satu lumbung produksi hidrogen di kawasan, tentunya dengan dukungan regulasi selain teknologi berefisiensi tinggi yang tepat guna yang saat ini telah tersedia di pasar komersial. *