JAKARTA | GlobalEnergi.co – Pemerintah terus mendorong transisi energi dari berbasis fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Targetnya pada 2025 mendatang porsi bauran energi baru terbarukan bisa mencapai 23%.
Kebijakan itu disambut positif ekonom senior Institute for Development of Economics (INDEF) Faisal Basri. Transisi energi dari fosil ke EBT, kata dia, akan menciptakan lapangan kerja baru. Dia menyebut transisi energi bukan ancaman bagi pekerja karena pekerjaan lain bakal bermunculan.
“Sudah terbukti di mana-mana bahwa renewable energy create jobs, bukan dengan omnibus law, tapi dengan new economic, akan create job ini,” kata Faisal Basri dalam webinar ‘Catatan Akhir Tahun: Transisi Energi di Indonesia Sampai Di mana?’, Kamis (17/12/2020), seperti dikutip dari cnbcindonesia.com.
Menurut Ketua Tim Anti Mafia Migas 2014-2015 ini, dengan hadirnya energi terbarukan, maka pekerjaan yang tercipta akan menyesuaikan. Misalnya, saat transisi energi bengkel motor memang akan berkurang, namun nantinya bakal digantikan dengan bengkel mobil dan motor listrik.
“Belum lagi bengkel solar panel, sehingga banyak sekali ini. Terbukti di berbagai kajian,” katanya.
Dia mengatakan, saat energi baru terbarukan booming di Amerika, ini menciptakan tenaga kerja bergaji tinggi dan stabil di beberapa negara, sementara industri batu bara mengalami penurunan.
Lebih lanjut Faisal mengatakan, membangun energi terbarukan lebih murah daripada menjalankan pembangkit listrik tenaga batu bara yang sudah ada. Mestinya, imbuh Faisal, pemerintah yakin tidak usah ada lagi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru.
Dia mencontohkan, pada 2025 hampir seluruh PLTU batu bara di Amerika Serikat akan memakan biaya lebih tinggi dibandingkan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti angin dan surya. Pasalnya, biaya energi terbarukan setiap tahunnya terus menurun.
“Ya itulah semua keputusan politik, masa bodo, global warming nggak kelihatan, tapi banjir, terus cuaca nggak tentu,” ujarnya.
Dia mencontohkan, Jepang bakal melarang penjualan mobil berbasis bensin pada pertengahan tahun 2030-an. Dalam rangka menuju energi bersih, menurutnya kuncinya yakni penelitian. Dengan demikian, saat beralih ke EBT, tidak semua kebutuhannya dipenuhi dengan impor.
Konsekuensi dari transisi, menurutnya akan banyak pembangkit yang dipensiundinikan, dalam rangka komitmen menciptakan dunia yang jauh dari pemanasan global.
“Sementara kita masih dorong terus produksi batu bara, tahun depan 550 juta ton sama kayak tahun ini, karena di sanalah kepentingan para oligarki mencengkeram,” katanya. (gas)