JAKARTA | GlobalEnergi.co – Sejumlah pelaku usaha minyak dan gas bumi (migas) menilai upaya pemerintah dalam menarik investor tak cukup dengan hanya mengandalkan kualitas cadangan. Dalam beberapa kesempatan pemerintah mengungkapkan dari 128 cekungan (basin) di Indonesia, masih ada 68 cekungan yang belum dieksplorasi. Potensi ini diklaim dapat menjadi salah satu daya tarik bagi para investor migas selain ragam insentif yang turut ditawarkan.
Direktur Indonesia Petroleum Association (IPA) Bij Agarwal bilang ada beberapa hal yang patut difokuskan pemerintah yakni pemberian insentif, kemudahan berbisnis, fiskal yang kompetitif dan menghargai kesucian kontrak. “Jika semua diperhitungkan maka ada banyak cadangan di Indonesia dan akan bersaing (dengan negara lain),” kata Bij dalam diskusi virtual, dikutip dari kontan.co.id, Senin (23/11/2020).
Senada, Presiden ExxonMobil Indonesia Melanie Cook menuturkan upaya menarik investor tak berbatas hanya pada kualitas cadangan melainkan juga stabilitas (regulasi) dan efisiensi serta fiskal term. Menurut dia, sejumlah upaya positif telah dilakukan pemerintah Indonesia. “Proses dan prosedur dan bagaimana lakukan sesuatu yang berbeda untuk tingkatkan investasi,” ujar Melanie.
Sementara itu, Britihs Petroleum (BP) Regional President Asia Pacific Nader Zaki mengungkapkan ada sejumlah isu kunci dalam meningkatkan investasi di Indonesia yaitu kepastian, efisiensi, infrastruktur dan meningkatkan demand gas domestik. “Investor butuh kepastian dalam investasi, mencari kestabilan, melihat terlebih dahulu fiskal rezim. Ini yang stakeholder sangat perhatikan,” ungkap Nader.
Menurut Nader, jika pemerintah mampu mengatasi empat isu utama tersebut maka Indonesia akan siap untuk berkompetisi dengan negara lainnya.
Sementara itu, Presiden Direktur Chevron Pacific Indonesia (CPI) Albert Simanjuntak menjelaskan, pemerintah harus mampu menghilangkan halangan yang selama ini menghambat para investor mengeksekusi strategi. Selain itu, pemerintah harus mampu mempersingkat tahapan bisnis khususnya terkait perizinan.
“Kami hanya punya 10 tahun (kembangkan lapangan), banyak proyek paralel, banyak proyek besar. Jika masih habiskan 2 tahun hanya untuk perizinan maka itu tak akan bekerja,” kata Albert.
Albert melanjutkan, perlu ada transformasi yang radikal. Di tengah situasi pandemi covid-19 yang menekan harga minyak ke rerata US$ 40 per barel, dia mengungkapkan pemerintah perlu menciptakan iklim investasi berbiaya rendah.
Albert mengapresiasi pemerintah yang telah mulai melakukan perbandingan dengan negara lain terkait iklim investasi yang kompetitif. Albert menambahkan, kontrak bagi hasil kontraktor migas berlaku 30 tahun dengan perpanjangan 20 tahun. Kendati demikian, pengembangan sebuah lapangan bisa berumur lebih dari kontrak tersebut.
“Bagaimana kita melanjutkan pengembangan strategi untuk lindungi ketahanan energi. Saya kira ada waktunya negara lain tak lakukan gerakan dan memburuk lalu Indonesia menjadi tempat yang sangat baik (untuk investasi,” pungkas Albert. (*)