Sukses mendukung program ekosistem kendaraan listrik, PT PLN juga memelopori kolaborasi untuk produksi dan penggunaan energi hidrogen hijau. Ahli teknologi nano dan peneliti energi baru terbarukan yang menjadi Designated Assistant Professor di Nagoya University, Jepang, Dr Miftakhul Huda M.Sc., dan peneliti dan pebisnis hidrogen di Amerika Serikat, Dr Natarianto Indrawan, menyambut positif langkah PLN gencar mendukung program Net Zero Emission 2060 tersebut.
Oleh : Gatot Susanto
PLN melalui subholding PLN Nusantara Power (PLN NP) sudah mampu memproduksi 51 ton hidrogen hijau (green hydrogen) melalui Green Hydrogen Plant (GHP) pertama di Indonesia yang berlokasi di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Pluit, Jakarta. GHP bersejarah ini diresmikan pada Senin (9/10/2023) lalu.
Tak lama kemudian PT PLN meresmikan lagi 21 unit GHP yang tersebar di seluruh Indonesia, Senin (20/11/2023) di pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) Tanjung Priok, Jakarta. Upaya ini membuat PLN menjadi perusahaan yang memiliki GHP terbanyak di Asia Tenggara.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan bahwa GHP merupakan hasil inovasi yang terus dilakukan PLN dalam menjawab tantangan transisi energi. Soal energi hidrogen ini, PLN termasuk pioner di Indonesia.
“Ini merupakan wujud nyata dari kolaborasi bersama Kementerian ESDM. Karya inovasi ini kami lakukan dalam menjawab transisi energi. Memaksimalkan existing facility yang ada di PLTGU Muara Karang, kemudian kami lakukan inovasi dengan memanfaatkan 100% EBT menjadi green hydrogen,” tegas Darmawan.
Selanjutnya PLN melalui subholding PLN Indonesia Power juga menjadi pioner setelah mengoperasikan Stasiun Pengisian Hidrogen atau Hydrogen Refueling Station (HRS) pertama di Indonesia yang berlokasi di Senayan, Jakarta.
Sebelumnya, tahun 2022, PT PLN (Persero) melalui entitas bisnisnya PT Prima Layanan Nasional Enjiniring (PLN Enjiniring) juga berkolaborasi dengan perusahaan asal Korea Selatan KEPCO Engineering and Construction Company Inc untuk mengembangkan teknologi pemanfaatan hidrogen dan amonia sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kerja sama ini sejalan dengan komitmen PLN untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia lewat cofiring. Saat ini terdapat 3 pilot project cofiring hidrogen dan amonia yaitu di PLTU Gresik, PLTU Suralaya dan PLTGU Priok.
Jejak itu terus bertambah. Bahkan PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) berencana memperluas kapasitas hidrogen hijau di Indonesia. Direktur Gas dan BBM PLN EPI, Rakhmad Dewanto, dalam rilisnya, mengatakan, bahwa hidrogen hijau berpeluang besar untuk dikembangkan sebagai sumber energi di masa depan.
Dia mengatakan, energi terbarukan ini bisa digunakan untuk pengembangan kendaraan berbasis hidrogen sehingga bisa mengurangi penggunaan bahan bakar minyak. Selain itu, hidrogen hijau bisa digunakan untuk generator sel bahan bakar, dan berintegrasi dengan sumber energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin.
“Proyek ini bukan hanya sebuah pencapaian teknologi, tetapi juga wujud komitmen kami terhadap masa depan yang lebih bersih dan hijau untuk Indonesia,” ujar Rakhmad dalam keterangan tertulisnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Rakhmad mengatakan, PLN EPI menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, baik domestik maupun internasional. PLN EPI optimistis dapat memainkan peran strategis dalam memastikan keberlanjutan energi primer di Indonesia, sekaligus mendukung target global untuk mengurangi emisi karbon dan mempercepat transisi ke energi terbarukan.
“PLN berkomitmen untuk berada di garis depan dalam pengembangan hidrogen hijau di Indonesia,” ujarnya.
Rakhmad mengatakan, PLN Group telah mengembangkan beberapa proyek kunci terkait hidrogen hijau, di antaranya pembangunan Green Hydrogen Plant di Kamojang. Pabrik Hidrogen Hijau Geotermal yang pertama di Asia Tenggara ini memiliki kapasitas produksi 12 kilogram per hari atau 4,68 ton per tahun. Dia mengatakan, fasilitas ini memasok hidrogen hijau ke Pusat Hidrogen Senayan, termasuk Hydrogen Refueling Stations (HRS) pertama di Indonesia yang terletak di kawasan tersebut.
Fasilitas ini mendukung permintaan transportasi bersih yang terus meningkat dengan mengubah hidrogen hijau menjadi energi yang dapat digunakan untuk kendaraan.
“Fasilitas ini menawarkan pengalaman pengisian bahan bakar yang serupa dengan stasiun konvensional. Ini adalah bagian dari kontribusi kami untuk mengurangi gas rumah kaca secara signifikan,” katanya.
Maka, sama dengan tren kendaraan listrik, kendaraan hidrogen atau fuel cell electric vehicles (FCEV) juga akan semakin marak di Indonesia. Bahkan sangat mungkin kendaraan berbasis hidrogen bakal menyalip kendaraan berbasis listrik baterai mengingat FCEV lebih banyak keunggulannya.
Kelebihan FCEV itu pula yang membuat bos produsen kendaraan listrik, Tesla, Elon Musk, berputar haluan. Dia yang awalnya membenci bahan bakar hidrogen dengan menyebutnya sebagai “bahan bakar bodoh”, kini justru menjilat ludahnya sendiri. Elon Musk mulai serius melakukan penelitian untuk menyiapkan kendaraan berbahan bakar hidrogen yang memang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Kabar hijrahnya Elon Musk dari kendaraan listrik menjadi berbahan bakar hidrogen ini mencuat dalam tulisan Sarah I yang dikenal menangani eksperimen mesin hidrogen pada Tesla, seperti dimuat dalam laman ecoticias.com, beberapa waktu lalu.
Diaspora Indonesia di Amerika Serikat (AS) yang menjadi peneliti dan pebisnis hidrogen, Dr Natarianto Indrawan berharap, agar kebijakan Elon Musk bersama Tesla itu juga diikuti oleh Pemerintah dan pelaku bisnis energi di Indonesia. Bahkan, Pemerintah Indonesia harus menyiapkan terobosan untuk menggenjot produksi energi hidrogen yang dapat dikomandani oleh salah satu BUMN. Misalnya PLN, atau perusahaan pelat merah lain.
“Apa itu PLN, Pertamina, atau PGN agar dapat menjadi leader dalam produksi bahan bakar masa depan ini sebab mereka punya berbagai modal, termasuk capital dan terlebih jika memiliki akses bahan baku seperti natural gas. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah membangun plan skala demo untuk menunjukkan ke setiap stake holders bahwa proses ini perlu dipelopori, menjadi fokus, bagi semua BUMN, perusahaan pelat merah, untuk melakukan dekarbonisasi di setiap lini. Karena jika tidak melakukan hal itu, maka Indonesia akan tertinggal dengan negara lainnya dalam kompetisi penguasaan teknologi bahan bakar masa depan ini,” kata Natarianto Indrawan kepada Global Energi, Rabu kemarin.
Saat ini, kata dia, sudah banyak pengembangan untuk proses produksi, antara lain dengan menggunakan natural gas. Bahan baku ini bisa diproses secara efisien dan bebas emisi karbon hingga menjadi hidrogen bersih.
“Kami sendiri sudah melakukan proses itu dan saat ini sedang scaling up dan berkompetisi dengan berbagai kompetitor lain di global. Jauh sebelum orang- orang bicara hidrogen, kami sudah fokus dalam pengerjaannya dan juga berkolaborasi secara internasional. Di AS sendiri sedang kami kembangkan menuju ke sana, apalagi dengan kehadiran Elon Musk di bidang ini. Elon yang tadinya mengkritik, membuat kontroversi, kini justru mendukung dan ingin mengembangkannya sebab bila tidak Tesla akan jatuh. Saham Tesla beberapa bulan terakhir ini jatuh, sempat naik lagi, dan pada jangka panjang harus melakukan transformasi, karena energi listrik atau teknologi baterai itu punya keterbatasan, salah satunya sulit untuk diaplikasi untuk perjalanan jarak jauh, seperti penjelajahan antariksa, yang hal itu dapat dilakukan oleh hidrogen,” katanya.
Kolaborasi memang jadi kata kunci. Selain dengan perusahaan global, kata dia, di dalam negeri bisa sinergi dengan periset dan akademisi di Tanah Air. Namun masalahnya, mereka yang fokus pada pengembangan bahan bakar hidrogen itu masih terbatas. Karena itu mereka yang ada di UI, ITB, ITS, UGM, harus didorong agar mempunyai keberanian atau back up untuk membuat peta jalan hidrogen sebagai bahan bakar masa depan di tanah air. Sebab kita punya berbagai sumber daya untuk pengembangan hidrogen dan sangat berpeluang menjadi global player di masa depan.
“Kita punya gas alam, punya batubara, sampah, biomassa, hampir semua, termasuk air laut itu bahan bakar hidrogen. Jadi mereka harus dilibatkan secara aktif dalam program ini. PLN bagus sudah berani membuat terobosan. Tantangan utama ekonomi hidrogen di seluruh dunia adalah penyediaan bahan bakarnya sebab biaya produksinya masih tinggi. Itu pula yang sedang kita usahakan agar lebih efisien, kita berkompetisi dengan semua pemain hidrogen secara global,” katanya.
Karena itu pihaknya terus mendorong BUMN apa itu PLN atau Pertamina dan PGN, atau siapa pun untuk berani berinvestasi memproduksi bahan bakar hidrogen ini, termasuk memback up start up yang dikelola putra-putri di tanah air maupun di luar negeri, sebab perusahaan energi besar di dunia juga mengalokasikan investasinya mendukung perusahaan rintisan tersebut, seperti Shell di Belanda mendukung start up di Kanada. Sebanyak 10 juta dolar diberikan kepada Aurora, salah satu start up di Kanada. Begitu pula Exxon Mobile, dan perusahaan lain, sudah melakukan investasi untuk berbagai start up hidrogen di Amerika.
“Itu harus dilakukan agar lebih awal dan setelah start up itu jadi akan membuat return terbaik dengan nilai beratus-ratus kali lipat. Contoh Bill Gates sekarang memback up start up Modern Hydrogen yang berpusat di Washington State. Bill Gates sendiri mengeluarkan ratusan juta dolar, padahal produknya belum jadi. Teknologinya masih dirintis. Itulah yang dilakukan pengusaha, entrepreneur, berani take risk, mengambil risiko, untuk sesuatu yang menjanjikan di masa depan, spirit itu yang harus ada di kalangan pengusaha Indonesia. Perlu edukasi kontinu kepada para entrepreneur, policy maker, agar berani investasi untuk sesuatu yang akan terwujud sebagai energi masa depan pengganti energi fosil yang sekarang kita gunakan,” katanya.
BUMN Jadi Pelopor
Senada dengan Natarianto Indrawan, kepada Global Energi, Dr Miftakhul Huda M.Sc, mendukung penuh BUMN di Indonesia menjadi pelopor pengembangan energi hidrogen hijau dengan kolaborasi bersama pihak lain, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dia menegaskan, bahwa teknologi hidrogen pada dasarnya teknologi masa depan karena bersumber dari air, hidrogen, dan oksigen yang berlimpah di alam dan sama sekali tidak menghasilkan emisi. Hanya saja saat ini perkembangannya masih dalam tahap awal.
“Teknologi hidrogen pada dasarnya bisa dibagi ke dalam beberapa area. Produksi hidrogen, transpor hidrogen, distribusi hidrogen, dan terakhir penggunaan energinya sebagai sumber energi kendaraan, rumahan, maupun industri. Masing-masing punya tingkat kemajuan sendiri-sendiri,” kata ilmuwan asal Pekalongan yang juga Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jepang ini.
Hidrogen, kata pakar teknologi Nano ini, bisa diproduksi dari reaksi pemecahan air atau dari sumber turunan minyak bumi dan gas alam. Sistem dan katalis reaksi pemecahan air masih memerlukan energi besar sehingga sangat membutuhkan penelitian dan pengembangan lebih lanjut.
“Indonesia dengan mineral berlimpah bisa turut serta dalam penelitihannya. Indonesia yang punya sumber daya minyak bumi dan gas alam ke depan bisa turut serta dalam menjadi produsen hidrogen baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun sebagian untuk ekspor. Indonesia perlu mempersiapkan teknologi dan industri ini. Jepang sudah mulai ekspor hidrogen dari Australia dan Brunei Darussalam,” katanya.
Transportasi hidrogen antarnegara, kata dia, biasanya dilakukan dalam bentuk cair untuk alasan keamanan dan efisiensi yang memerlukan teknologi khusus. Teknologi ini perlu dipersiapkan saat akan ekspor-impor hidrogen. Karena itu Indonesia bisa pula melakukan persiapan terkait hal tersebut sejak awal.
Lalu bagaimana dengan tren kendaraan listrik di Indonesia? Menurut mantan Ketua PCI NU Jepang ini, kendaraan hidrogen pada dasarnya adalah kendaraan listrik juga. Sedangkan kendaraan listrik yang mulai ramai di Indonesia adalah kendaraan listrik baterai.
“Listrik yang di-charge, disimpan di dalam baterai. Kendaraan hidrogen sumber listriknya dari hidrogen dan oksigen. Kendaraan hidrogen dan kendaraan baterai punya keunggulan dan peran masing-masing. Saat ini kendaraan hidrogen diproyeksikan untuk kendaraan berat seperti bus, truk, alat berat, kereta, pesawat, kapal, dan lainnya. Oleh karena itu, keduanya perlu didukung dan dikembangkan di Indonesia,” katanya.
Untuk itu, Miftakhul Huda menyarankan, peran masing-masing BUMN dalam program energi hijau ini harus diperjelas. Pasalnya, teknologi hidrogen tidak sebatas pada kendaraan saja tapi juga teknologi untuk produksi, transportasi, distribusi, dan konsumsi. Maka peran masing-masing BUMN maupun swasta di Indonesia perlu diperjelas dan diatur. Misalnya, Pertamina fokus pada produksi hidrogen dari minyak bumi dan gas alam. PLN fokus pada produksi hidrogen dari air. BUMN lain bisa fokus pada transportasi hidrogen dan ekspor-impornya.
“Sementara swasta dan BUMN lain bisa ikut berperan di distribusinya,” katanya.
Dia juga mengharap Pemerintah RI mendorong ekosistem inkubasi di perguruan tinggi untuk menghasilkan start-up outomotive anak bangsa yang kompetitif. Memfasilitasi kerjasama BUMN, swasta dan perguruan tinggi dalam menghasilkan teknologi maupun produk baru dalam bidang energi maupun automotive karena teknologi mobil listrik itu sangat sederhana dibandingkan teknologi mobil berbahan bensin atau pembakaran internal.
“Perlu diingat lagi, teknologi hidrogen tidak hanya untuk kendaraan, tapi ya bisa digunakan untuk industri maupun rumahan. Salah satu keunggulannya teknologi hidrogen adalah tidak tergantung cuaca seperti solar cell. Teknologi hidrogen sangat cocok untuk genset saat sumber utama listrik mati dan juga saat bencana alam,” katanya.
Lalu mengapa Elon Musk menyebut hidrogen bahan bakar bodoh? “Saya kira, itu karena dia ingin fokus untuk jualan mobil listrik baterai saja,” ujarnya. Bahkan Elon Musk sendiri kini getol melakukan penelitian kendaraan hidrogen.
Begitulah proses menuju net zero emission yang di Indonesia akan dicapai tahun 2060. Bila semua bergerak dengan baik, bukan tidak mungkin target capain itu bisa lebih cepat lagi. Pasalnya, perkembangan energi hidorgen sendiri untuk kendaraan sudah meningkat pesat.
Berdasarkan, data analis dari Korea Selatan, SNE Research, kendaraan hidrogen juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada 2022. Bahkan negara tetangga seperti Australia dan Malaysia telah menjadi eksportir hidrogen. Mereka memasok energi terbarukan itu ke Jepang dan Singapura. Di Malaysia, sejak 2019 melalui Sarawak Economic Development Corporation (SEDC) telah membangun jaringan produksi hidrogen sekaligus lini distribusi yang melayani sektor transportasi dan otomotif.
Tercatat, Petronas sebagai badan usaha pelat merah milik negeri Jiran itu, telah mempunyai peta jalan pengembangan bisnis hidrogen. Tercatat pada 2024, Petronas menargetkan beroperasinya fasilitas produksi hidrogen, hingga memperluas jaringan distribusi. Sementara negara-negara maju lainnya telah membidik hidrogen sebagai bagian batu loncatan mengikis emisi karbon, terutama pada sektor otomotif.
China dan Jepang yang memiliki peredaran mobil hidrogen cukup besar, telah membangun jaringan luas stasiun hidrogen. Di Jepang, tercatat telah terdapat 174 titik stasiun hidrogen. Sedangkan China memiliki sekitar 300 titik pengisian hidrogen, Begitupun Korea Selatan, Jerman, dan Amerika Serikat. Kini Indonesia mulai menggenjot pengembangan hidrogen mengingat potensi EBT hidrogen yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) tersebar terutama di Kalimantan Utara, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Papua. Ini sangat menggembirakan dan diharapkan bisa memenuhi harapan para pelaku bisnis di sektor tersebut.
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam mengakui, hidrogen bakal jadi pemain utama energi bersih pada masa mendatang.
“Kalau bagi Toyota, kami telah menerapkan strategi multi-pathway, termasuk pengembangan hidrogen. Karena tujuan netral karbon, tak bisa hanya satu teknologi, semua yang bergerak mengurangi karbon harus didukung,” ungkapnya.
Hanya saja dia menilai sejauh ini pengembangan energi hidrogen masih sebatas wacana, belum terdapat peta jalan dan kebijakan yang jelas.
“Sebagai pelaku industri kami menunggu kejelasan tersebut, karena tren global pun mengarah ke sana. Ini harus disiapkan dari produksi, distribusi, hingga jaminan infrastrukturnya, secara teknologi sudah siap industri otomotif,” kata Bob.
Toyota telah meluncurkan dan memasarkan massal Mirai yang merupakan Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) dengan konsumsi hidrogen. Kini, pabrikan asal Jepang itu menghadirkan generasi kedua teknologi hidrogen internal combution engine/HICEV yang bisa dikembangkan berbarengan dengan rantai pasok komponen eksisting.
Lima Proyek Hidrogen
Sebelumnya, Deputi Menteri Koordinator Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi (Kemenko Marves), Jodi Mahardi mengatakan, Indonesia memiliki lima proyek hidrogen hijau yang tengah dikembangkan. Total kapasitas proyek hidrogen tersebut mencapai 1,4 kilo tonnes per annum (ktpa). “Lima proyek hidrogen bersih yang saat ini sedang dikembangkan, memanfaatkan potensi terbarukan dan juga kapasitas penyimpanan karbon,” ujar Jodi.
Kelima proyek hidrogen tersebut, yakni :
- Batam Bintan Green Hydrogen Cluster Proyek ini memiliki kapasitas yang direncanakan 25 – 100 ktpa dan ditargetkan beroperasi pada kuartal pertama 2027.
- Clean Hydrogen Cluster Proyek ini akan dikembangkan oleh PT Pertamina (Persero) dengan kapasitas yang direncanakan 25 – 100 ktpa. Clean Hydrogen Cluster ditargetkan dapat beroperasi pada kuartal pertama 2027.
- Cilegon Clean Hydrogen Proyek ketiga berada di pulau Jawa tepatnya melalui proyek Cilegon Clean Hydrogen Cluster dengan kapasitas yang direncanakan (TBC). Proyek ini beroperasi pada kuartal ketiga 2027.
- North Sulawesi Green Ammonia Cluster Selanjutnya adalah proyek yang berada di pulau Sulawesi dengan kapasitas yang direncanakan 500 ktpa. Proyek itu beroperasi pada kuartal pertama 2030.
- Sumatra-Java Blue Ammonia Project Proyek ini direncanakan dengan kapasitas yang direncanakan 730 ktpa (TBC).
Jodi mengatakan, kelima proyek hidrogen bersih tersebut sedang dikembangkan di Indonesia. “Proyek tersebut memanfaatkan sumber daya energi terbarukan yang signifikan dan kapasitas penyimpanan karbon negara ini untuk memproduksi hidrogen hijau dan biru,” ujarnya.
Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dalam produksi hidrogen bersih yang dapat mendatangkan manfaat ekonomi yang signifikan. Hidrogen akan memainkan peran penting dalam sistem energi global seiring dengan upaya berbagai negara untuk dekarbonisasi dan membangun ekosistem hidrogen.
“Sumber daya gas alam yang melimpah, kapasitas penyimpanan CO2, dan potensi energi terbarukan menempatkan Indonesia sebagai pemimpin regional dalam produksi hidrogen,” ujar Jodi.
Ia mengatakan, posisi geografis Indonesia dekat dengan negara-negara yang memiliki permintaan tinggi akan hidrogen bersih, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Mereka bersama-sama mewakili pasar hidrogen sebesar kurang lebih 4 juta ton per tahun.
Sedangkan, Indonesia memiliki cadangan gas terbesar kedua di Asia Pasifik dan potensi penyimpanan CO2 terbesar ketiga di kawasan tersebut untuk hidrogen biru. Sementara untuk hidrogen hijau, Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar kedua di dunia dan potensi kapasitas tenaga surya lebih dari 200 GW.
“Sektor hidrogen menghadirkan peluang baru bagi Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya energinya yang melimpah guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” ujarnya.
Seiring dengan upaya negara-negara untuk mencapai target net zero emission, permintaan hidrogen global diperkirakan akan meningkat lebih dari empat kali lipat antara tahun 2020 dan 2050. Pada 2023, terdapat 1.418 proyek hidrogen bersih yang diumumkan secara global dengan nilai investasi mencapai 570 miliar dollar AS. Proyek-proyek tersebut berada di seluruh rantai nilai hidrogen.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) menyebutkan pengembangan hidrogen sebagai energi baru terbarukan memiliki potensi besar. Salah satu upaya untuk mendorong peluang tersebut yakni dengan menyiapkan aturan mengenai insentif dan keringanan pajak yang dibutuhkan para pengembang untuk mempercepat pengembangan hidrogen hijau di tanah air.
“Kebijakan tersebut nantinya tercantum dalam RUU EBET yang saat ini masih dalam tahap evaluasi. Selain itu pemerintah juga tengah mengkaji strategi hidrogen nasional yang diharapkan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil,” kata Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Andrian Feby Misna dalam keterangan tertulis
Ia menuturkan nantinya dalam regulasi hidrogen tersebut juga terdapat standar yang mengatur tax holiday, tax allowance, pajak, dan dasar regulasi perdagangan karbon.
Senior Adviser of Hydrogen Energy Center Indonesia Seno Adhi Damono menambahkan dengan berinvestasi dipengembangan hidrogen dapat mewujudkan masa depan yang lebih ramah lingkungan. “Pengembangan teknologi hidrogen dapat mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan bahan bakar fosil,” tutur Seno.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, target produksi hidrogen mencapai 9,9 Mtpa (Juta ton per tahun) pada 2060. Angka tersebut untuk memenuhi kebutuhan sektor industri sebesar 3,9 Mtpa, transportasi (1,1 Mpta), kelistrikan (4,6 Mpta), dan jaringan gas rumah tangga (0,28 Mpta).
“Selain di empat sektor tersebut hidrogen juga memiliki peluang menjadi komoditi ekspor,” tambah Feby.*