Beberapa tahun terakhir ini, penemuan gas di berbagai daerah lebih banyak dibandingkan dengan minyak bumi. Dengan kenyataan ini, sudah barang tentu ke depannya gas akan “melimpah”. Meski dikata melimpah, tetapi tidak semua konsumen dapat menikmatinya. Infrastruktur (pipa penyaluran) di sejumlah daerah masih menjadi kendala, karena mahalnya investasi untuk proyek pipa tersebut. Lalu bagaimana menyiasasti melimpahnya gas tersebut? Berbagai kalangan mengatakan CNG dan LNG mempunyai peluang untuk menyikapi belum meratanya penyaluran gas. Mengapa?
Oleh: Erfandi Putra
Indonesia bersiap menyambut lonjakan produksi gas bumi dalam beberapa tahun mendatang. Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sejumlah proyek pengembangan lapangan gas baru diproyeksikan akan berkontribusi signifikan terhadap peningkatan produksi nasional.
“Ini adalah upaya-upaya kita bagaimana bisa mencapai produksi 1 juta barel dan 12 Billion Cubic Feet (BCF). Jadi kalau di minyak ada angka penurunan, tapi di gas ada angka kenaikan. Dan ini belum lagi masuk ke lapangan barunya ENI,” ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif pada Temu Media di Jakarta, Jumat (2/8/2024).
Periode 2027 hingga 2028, diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi gas bumi yang signifikan, terutama berasal dari lapangan-lapangan separate Geng North, IDD Gandang Gendalo, dan Andaman.
Berikut rincian tambahan produksi gas tersebut, antara lain:
- Geng North: Diproyeksikan akan menghasilkan tambahan produksi sebesar 1.000 Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD )dengan cadangan mencapai 4,1 TCF. Lapangan ini diperkirakan akan mulai berproduksi pada tahun 2027.
- IDD Gandang Gendalo: Dengan target produksi 517 MMSCFD dan cadangan 6,3 TCF, lapangan ini juga memiliki potensi besar untuk meningkatkan produksi gas nasional.
- Andaman: Meskipun masih dalam tahap eksplorasi, lapangan Andaman diperkirakan memiliki potensi produksi sebesar 527 MMSCFD dengan cadangan sekitar 10 TCF.
Selain ketiga proyek besar yang disebutkan di atas, banyak lapangan seperti Ubadari sebesar 550 MMSCFD, Asap Kido Merah (330 MMSCFD), Maha (194 MMSCFD), Secanggang (140 MMSCFD), Mako (120 MMSCFD), Lofin (120 MMSCFD), Marakes East (89 MMSCFD), Wasambo (40 MMSCFD) dan Karendan (100 MMSCFD) juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam peningkatakan produksi gas bumi nasional.
Meskipun prospeknya cerah, pengembangan lapangan gas baru juga dihadapkan pada sejumlah tantangan, seperti isu perizinan, ketersediaan infrastruktur, dan fluktuasi harga energi global. Oleh karena itu, pemerintah dan perusahaan migas perlu bekerja sama seperti melakukan pengeboran eksplorasi Targeting Giant Prospect pada rata-rata 54 sumur tiap tahun dan kerjasama Migas Non Konvensional dengan big player dunia seperti EOG Resources, CNPC, dan lainnya.
Peningkatan produksi gas bumi ini juga diharapkan dapat memperkuat ketahanan energi nasional, mengurangi ketergantungan pada impor, serta mendorong pertumbuhan industri yang berbasis gas. Selain itu, gas bumi juga dinilai sebagai sumber energi transisi yang lebih bersih dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya.
Nah dari sinilah nanti kita akan memanfaatkan gasnya untuk bisa mendukung ketahanan energi dan sekaligus mendukung transisi energi kita, untuk bisa mengurangi emisi karbon.
Berharap ke CNG
Melihat kenyataan ini, SKK Migas menilai produksi gas nasional yang sedang tumbuh bisa menjadi peluang baru. Pasalnya, saat ini salah satu tantangan pengembangan lapangan gas di Indonesia adalah infrastruktur gas yang masih minim sehingga menyulitkan offtaker.
Deputi Keuangan Dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi menjelaskan, kondisi surplus gas di Jawa Timur. Meskipun pipa Cirebon Semarang tahap I sudah selesai, tapi masih perlu akselerasi. Untuk menyiasati surplus tersebut, Kurnia menilai ada pengembangan mini LNG dan CNG.
“Ada beberapa wilayah yang sulit dilalui dengan gas pipa, bisa ditempuh melalui CNG. Ini sangat membantu karena harganya masih lebih murah dari LPG,” kata Kurnia, beberapa waktu lalu.
Kurnia menjelaskan, saat ini LPG nonsubsidi dibanderol Rp 17 ribu per kilogram. Sedangkan CNG sampai ke pelanggan bisa mencapai Rp 11 ribu-Rp 15 ribu per kilogram.
“Ini cukup kompetitif untuk bisa menggantikan LPG nonsubsidi yang mostly masih impor,” kata Kurnia.
Sebelumnya, Tutuka Ariadji saat menjabat Dirjen Migas Kementerian ESDM menjelaskan, saat ini pemerintah bersama SKK Migas juga secara paralel sedang melakukan identifikasi sumber gas hulu yang bisa mengganti LPG.
“Elpiji coba kita identifikasi hulunya. Jadi sumber gas lapangan gas yang rich c3 dan c4 kita identifikasi. Nanti dari situ kita kan harus bangun kilang elpiji berapa jumlahnya bisa ditambahkan untuk produksi dalam negeri,” kata Tutuka di Kementerian ESDM, beberapa waktu lalu.
Opsi lain yang akan diambil pemerintah adalah dengan lebih banyak menggunakan sumber gas yang sudah ada yakni dengan pemanfaatan gas pipa, jaringan gas (jargas), dan penggunaan compressed natural gas (CNG).
“Kita upayakan supaya CNG bisa lebih banyak dipakai,” pungkas Tutuka.
Memang pada kenyataannya, tingkat permintaan CNG memang terus meningkat. Sepeerti PT Pertagas Niaga (PTGN), selaku afiliasi Subholding Gas PT Pertamina (Persero), PT PGN Tbk, menyuplai gas terkompresi (compressed natural gas/CNG) untuk PT Citra Cesyndo San (CCS), yang merupakan produsen keramik sanitari di Jawa Tengah.
Pengaliran pertama atau gas in CNG dilaksanakan pada Minggu (8/10/2023) di metering station CCS di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dengan dihadiri manajemen PTGN dan CCS.
President Director PTGN Aminuddin dalam keterangannya di Jakarta, mengatakan, perjanjian jual beli gas (PJBG) antara PTGN dan CCS ditandatangani pada 30 Desember 2022 untuk penyerapan CNG sebesar 0,08 BBTUD selama satu tahun pertama dan akan bertambah ke depannya.
Ia mengatakan, penyediaan CNG untuk CCS menambah portofolio PTGN di wilayah Jawa Tengah dan menjadi pemacu untuk terus memperluas pasar CNG ke berbagai wilayah lain di Indonesia.
Saat ini, PTGN mengelola 50 portofolio CNG di Pulau Jawa atau setara 6,33 BBTUD, yang diantaranya berada di Jawa Tengah dengan jangkauan konsumen dari sektor industri tekstil, jamu, dan juga makanan dan minuman.
“Kami berterima kasih kepada CCS telah mempercayakan PTGN untuk menyuplai energi gas bumi. Tentunya, kami sangat mendukung tujuan baik industri, dalam hal ini CCS, untuk menggunakan energi yang ramah lingkungan,” ujar Aminuddin.
Hal tersebut, lanjutnya, sejalan juga dengan komitmen ESG Holding Migas Pertamina untuk ikut mengurangi emisi karbon.
“PTGN senantiasa menjaga agar pasokan tetap terjaga aman, sehingga diharapkan industri-industri lain di Jawa Tengah bisa mengikuti CCS untuk menggunakan CNG,” tambahnya.
CCS telah beroperasi sejak 2001 dengan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) sebagai sumber energi dalam kegiatan produksinya. Namun, kini CCS mulai beralih memanfaatkan CNG karena dinilai lebih ramah lingkungan dan lebih andal.
“Saat ini, permintaan konsumen akan produk kami semakin meningkat dan demand ini tidak mungkin kami penuhi dengan penggunaan klin atau oven berbahan bakar minyak, sehingga kami berinovasi dan mulai menggunakan klin berbahan bakar CNG yang mampu mengoptimalkan kapasitas produksi kami, karena panas yang dihasilkan lebih merata dan stabil,” ujar Direktur Utama CCS Lanny Setyawati.
“PTGN akan terus berupaya mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi dan produk turunannya sebagai sumber energi yang lebih ramah lingkungan untuk mendukung kebutuhan energi bagi industri, fasilitas umum, UMKM serta masyarakat Indonesia. Dengan demikian, bersama-sama kita bisa berperan aktif dalam transisi energi menuju net zero emission pada 2060,” sebut Aminuddin.
Setelah resmi menjadi perusahaan terbuka, PT Citra Nusantara Gemilang Tbk (CGAS) tancap gas mengembangkan bisnisnya. Sembari memantapkan eksistensi di industri gas alam terkompresi atau Compressed Natural Gas (CNG), CGAS menggelar ekspansi di bisnis gas alam cair alias Liquefied Natural Gas (LNG).
CNG dianggap lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan bakar minyak seperti solar dan bensin. Dari sisi harga pun CNG dinilai lebih ekonomis. Dalam menjalankan bisnisnya, CGAS menargetkan sektor industri, retail, transportasi, serta melayani jasa konsultasi terkait operasional dan perawatan peralatan gas alam.
Sekretaris Perusahaan Citra Nusantara Gemilang, Ferina Tyas menjelaskan, CGAS melakukan pemasaran secara Business to Business (B2B) maupun Business to Consumer (B2C). Dilihat dari segmen pelanggan, kontribusi pendapatan dari sektor industri mendominasi dengan porsi sekitar 80%. Sedangkan pelanggan retail menyumbang sekitar 20%.
Laba bersih PT Citra Nusantara Gemilang Tbk, emiten yang merupakan pionir distribusi Compressed Natural Gas (CNG) di Indonesia, mencapai Rp 7,11 miliar pada semester I-2024, naik 44,83 persen daripada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 4,91 miliar.
“Dari segi pendapatan, perusahaan berhasil menghasilkan Rp 262,75 miliar pada semester pertama 2024, menunjukkan peningkatan sebesar 43,84 persen dibandingkan dengan Rp 182,66 miliar pada periode yang sama di tahun 2023,” kata Direktur Utama PT Citra Nusantara Gemilang, Andika Purwonugroho di Jakarta, Senin (5/8/2024).
Strategi perseroan dalam meningkatkan porsi segmentasi pelanggan ritel dan industri kecil mampu meningkatkan pendapatan dan laba perseroan. Selama enam bulan pertama tahun 2024, perseroan berhasil mencapai 50 persen dari target yang ditetapkan pada awal tahun.
“Kami berupaya meningkatkan produksi dengan membuka beberapa stasiun CNG baru. Pada tahun 2024, kami menargetkan pendapatan sebesar Rp 500 miliar dan telah mencapai 50 persen dari target tersebut,” ujar Andika.
Capaian perusahaan pada semester I-2024 tersebut merupakan hasil dari meningkatnya permintaan pasar ritel serta industri kecil dan menengah terhadap CNG. Perusahaan juga telah memperluas area penjualan baru di wilayah Tangerang dan Banten.
“Kesadaran masyarakat akan manfaat penggunaan CNG semakin meningkat, karena tidak hanya menawarkan harga yang lebih kompetitif dibandingkan LPG, tetapi juga merupakan sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan bersih,” tuturnya.
Ia menuturkan permintaan untuk CNG ke depan diperkirakan akan terus meningkat, sebagian karena dorongan dari pemerintah untuk mengurangi penggunaan LPG.
Pemerintah mendorong transisi menuju energi yang lebih efisien dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, fiskal, dan lingkungan. Upaya pemerintah untuk memangkas subsidi LPG telah mendorong konsumen untuk beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan, seperti CNG, yang juga menawarkan harga yang kompetitif.
PT Rukun Raharja, Tbk (RAJA) melalui anak usahanya, PT Energasindo Heksa Karya (EHK) sudah meresmikan Stasiun Induk Compressed Natural Gas (CNG) Grobogan Jawa Tengah (Jateng).
EHK memperkokoh portfolio bisnis gasnya melalui diversifikasi bisnis gas dengan masuk ke dalam bisnis CNG sejak 2021, dan di akhir 2023 resmi mengoperasikan Stasiun Induk yang kedua di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.
Data Bridge Market Research menganalisis bahwa pasar gas alam terkompresi (CNG) global yang mencapai 147,16 miliar dollar AS pada tahun 2022, akan meroket hingga 377,6 miliar dollar AS pada tahun 2030, dan diperkirakan akan mengalami CAGR sebesar 12,50% selama periode perkiraan. “Gas non-asosiasi” mendominasi segmen sumber pasar gas alam terkompresi (CNG) global karena meningkatnya jumlah eksplorasi gas.
Di samping wawasan mengenai skenario pasar seperti nilai pasar, tingkat pertumbuhan, segmentasi, cakupan geografis, dan pemain utama, laporan pasar yang dikurasi oleh Data Bridge Market Research juga mencakup analisis pakar yang mendalam, produksi dan kapasitas perusahaan yang terwakili secara geografis, tata letak jaringan distributor dan mitra, analisis tren harga terperinci dan terkini, serta analisis defisit rantai pasokan dan permintaan.
Lebih Kompetitif
Lalu apa kata Peneliti hidrogen asal Indonesia di Amerika Serikat (AS), Dr Natarianto Indrawan, memberi tanggapan terkait melimpahnya gas di Indonesia dan masalah oversupply gas di Jawa Timur (Jatim)? Founder dan CEO FlexiH, LLC,– sebuah perusahaan rintisan dalam mendukung pengembangan Hidrogen Hub (H2Hub) di AS–, ini memberi sejumlah saran kepada Pemerintah, khususnya Pemprov Jatim, agar oversupply gas bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk mengembangkan industri, menggairahkan iklim investasi, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.
Indrawan yang kini merintis bisnis energi baru terbarukan (EBT) di Tanah Air maupun di negeri Paman Sam itu mengusulkan, Pertama, Pemerintah perlu membangun lebih banyak lagi kawasan industri dengan ketersediaan infrastruktur gas di dalamnya di wilayah Jatim.
“Adanya kawasan industri akan membuka lebih banyak penyerapan gas untuk mendukung transisi energi karena gas alam merupakan sumber energi yang rendah emisi karbon dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya,” kata Dr Natarianto Indrawan kepada Global Energi, Rabu (28/8/2024).
Kedua, kata dia, mentransformasi kelebihan gas tersebut ke produksi ammonia. Selama ini ammonia tidak ada masalah dalam hal penyimpanan dan transportasi, sebab sudah biasa dipakai di industri pupuk. Indrawan sendiri sekarang tengah menggeluti usaha di bidang ini. Yakni proses produksi hidrogen menjadi ammonia atau ammonia menjadi hidrogen yang sekarang menjadi fokus usaha yang sedang dikembangkan baik di AS maupun di Indonesia.
“Keberadaan ammonia dalam skala besar, dapat dengan mudah ditampung dengan infrastruktur yang sudah memadai. Ammonia dapat meningkatkan ketahanan energi wilayah karena mudah untuk dikonversi ke hydrogen pada penggunaan masa depan,” katanya.
Ketiga, mentransformasi kelebihan gas alam ke produksi berbagai produk turunan berharga lainnya selain ammonia, seperti DME dan methanol. Kedua produk ini masih diperlukan di Tanah Air, khususnya DME sebagai pengganti LPG dan methanol untuk bahan baku industri lainnya.
“Keempat, mempercepat perluasan infrastruktur pipa gas di kawasan, tidak hanya di wilayah Jatim namun di sekitar dengan target industri, komersial dan perumahan. Mendukung upaya yang telah berjalan seperti saat ini, seperti konversi ke CNG, juga diperlukan.” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Jatim mengalami oversupply produksi gas. Kelebihan gas itu tidak bisa diserap oleh industri karena tidak adanya infrastruktur gas, padahal industri sangat membutuhkan lantaran harganya lebih murah dan ramah lingkungan. Pemanfaatan gas secara maksimal oleh industri ini sekaligus bisa mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jatim.
Yang menarik, ketika industri di Jatim kesulitan mendapatkan gas gegara tidak adanya infrastruktur gas tadi, ada kemungkinan kelebihan gas di Jatim itu justru akan dinikmati oleh industri di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat setelah tersambungnya infrastruktur gas yang dibangun di wilayah tersebut.
PT PGN Tbk (PGAS), Subholdig Gas Pertamina, menyebutkan, saat ini perusahaan tengah mengusahakan kelebihan pasokan gas di Jawa Timur akan dialokasikan ke Jawa Barat. Direktur Utama PGN Arief Setiawan Handoko mengatakan, pada tahun 2024 diperkirakan proyek pipa gas transmisi Cirebon-Semarang terbangun, sehingga nantinya kelebihan gas dari Jawa Timur bisa dialirkan ke Jawa Barat.
“Ya, untuk 2024 sudah dibangun untuk sektor Semarang-Cirebon. Artinya nanti oversupply (kelebihan pasokan) Jawa Timur bisa dikirim ke Jawa Barat yang sedang shortage (kekurangan),” ungkap Arief dalam program Energy Corner, beberapa waktu lalu.
Potensi gas bumi di wilayah Jawa Timur memang akan terus melimpah. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat masih terdapat potensi tambahan produksi gas bumi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di wilayah ini.
Total potensi tambahan tersebut berasal dari KKKS Petronas Carigali Ketapang II Ltd. memiliki potensi dari Lapangan Bukit Panjang sekitar 50 MMscfd mulai tahun 2026 hingga 2033. Sedangkan, KKKS Husky-CNOOC Madura Ltd. memiliki potensi pengembangan 2 lapangan gas MDK dan MBH dengan kapasitas produksi 24 dan 20 MMscfd. KKKS Medco Sampang juga memiliki lapangan gas Paus Biru yang dapat berproduksi 30 MMscfd dan lapangan ENC yang dioperasikan KKKS EML juga siap dikembangkan dengan kapasitas sampai 30 MMscfd, serta KKKS Kris Energy juga siap mengembangkan lapangan Lengo dengan kapasitas sampai 100 MMscfd.
Sebelumnya SKK Migas melaporkan angka oversupply gas di Jatim untuk tahun 2023 telah mencapai 173 MMscfd, posisi potensi lifting gas (sesuai WP&B) per Desember 2023 mencapai 747 MMscfd. Sedangkan serapan dari hilir seperti PLN hingga Petrokimia Gresik hanya 574 MMscfd.
Bahkan berdasarkan proyeksi yang disampaikan SKK Migas, bila sejumlah wilayah kerja (WK) migas di Jawa Timur dan Jawa Tengah jadi mengembangkan temuan lapangan gasnya maka potensi produksi gas bakal naik terus sampai titik puncak produksi pada rentang tahun 2030.
Saat ini di Semester I tahun 2024, kondisi pasokan gas berlebih atau oversupply di Jatim dan Jateng masih tidak banyak berubah mengingat pada kuartal I 2024 serapan gas rata-rata masih 557 MMscfd.
Nurwahidi, pengamat migas yang juga mantan Kepala SKK Migas Jabanusa yang sekaligus alumnus Fakultas Teknik Mesin ITS ini menegaskan, Jatim mempunyai potensi besar gas yang hingga kini belum optimal dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Nurwahidi mengatakan, tahun 2023 potensi Lifting gas Jatim dan Jateng kisaran 750 MMscfd, sedangkan serapannya rata-rata hanya 557 MMscfd. Jadi masih ada kelebihan gas sekitar 170 MMscfd. Sampai saat ini belum ada penambahan pembeli gas yang signifikan, sehingga rencana pengembangan lapangan gas lainnya menjadi tertahan karena belum ada buyernya.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Tentang ini Nurwahidi mengatakan, semua kembali kepada stakeholder. Sejauh mana mereka cepat membangun infrastruktur agar semua produksi gas tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dia juga menyoroti ekspor gas ke sejumlah negara. Produksi gas nasional hanya sekitar 68 persen dikonsumsi dalam negeri, kelebihannya diekspor.
Andai gas yang diekspor diperuntukkan kebutuhan dalam negeri dalam bentuk untuk kebutuhan gas rumahan, restoran maupun hotel maka kita akan lebih berhemat dengan mengurangi impor dan subsidi LPG karena harga gas lebih murah dibandingkan LPG.
Apalagi bila industri yang saat ini menggunakan BBM bisa kita ganti ke gas, maka akan terjadi pengurangan impor minyak yang sangat signifikan. Ini harus menjadi pemikiran kita semua, agar gas yang diproduksi di dalam negeri dapat mengurangi kebutuhan terhadap impor, katanya.
Menggalakkan dan memberi kemudahan pada perusahaan lokal untuk ikut berinvestasi dalam memasarkan gas melalui metode CNG maupun mini-LNG, juga merupakan salah satu solusi tepat mempercepat komersialisasi gas di Jatim, tambahnya.
Nurwaidi mengatakan, gas di Jatim 100% untuk domestic. Tidak seperti di daerah lainnya yang banyak diekspor. Guna mencapai kemandirian , energy khususunya di Jatim perlu penyaluran yang optimal, untuk membanti penyaluran energy yang lebih efisian.
Hal lain yang yang perlu diperhatikan, yakni dengan banyaknya penyerapan tersebut supaya menaikkan produksi gas Jatim. Kalau tak ada yang menyerap, dipastikan tak ada penambahan produksi.
Soal harga, Nurwaidi mengatakan, kalau harga CNG, tergantuing jarak dan volumenya. Misalnya pengiriman CNG dari Surabaya ke Bali, harganya termahal kisaran 10% hingga 15% lebih murah disbanding LPG. Kalau Surabaya – Mojokerto, harganya bisa lebih 30% lebih murah.
Harganya Lebih Murah
Sementara itu, Dian Kuncoro, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan CNG Indonesia (APCNGI) kepada Global Energi, Senin (26/8/2024) mengatakan, engingat proses pipanisasi cukup lama, CNG dapat menjadi strategi untuk penyaluran gas bumi kepada calon pelanggan/ pasar yang lokasinya belum terjangkau pipa gas. Ini dalam rangka menyerap pasokan gas bumi yang cukup besar.
Kontribusi CNG untuk penggunaan pasar komersial dan industri menunjukan peningkatan yang signifikan dalam 5 tahun belakangan, terutama sejak harga LPG melambung.
“Ini yang ingin saya katakana bahwasanya CNG ke depannya mempunyai prosek bisnis yang cukup menjanjikan,” katanya.
Dian yang juga Direktur Operasional dan Komersial PT Gagas Energi Indonesia (anak Perusahaan PGN) mengatakan, khusus di Jatim yang saaat ini oversupply gas peluang bisnis dan potensi serapan CNG untuk pasar komersial dan industri sangat tinggi. CNG sudah menjadi pilihan yang lebih kompetitif untuk pelaku usaha eksisting yang menggunakan LPG dan solar dan bagi pelaku usaha baru yang langsung mempertimbangkan penggunaan CNG dari pada LPG atau solar.
Potensi serapan CNG nasional bisa mencapai 100 MMSCFD dan khusus di Jatim bisa mencapai 30 MMSCFD. Namun fasilitas sumber CNG atau CNG Station masih terdapat di pulau Jawa dikarenakan deman terbesar masih di pulau Jawa.
PT Gagas Energi Indonesia, selaku anak perusahaan PGN didirikan dengan tujuan untuk memperkuat bisnis inti dan memberikan nilai tambah bagi bisnis PGN. Dalam menopang bisnis hilir PGN saat ini, Perusahaan melakukan kegiatan pengolahan, transportasi, penyimpanan dan perdagangan minyak dan produk gas, panas bumi, gas metana, CBM serta energy lainnya. Selain itu, perusahaan berfokus pada kegiatan perencanaan , pengadaan, konstruksi dan pengembangan dari transportasi, antara lain CNG, LNG dan moda transportasi lainnya.
Saat ini Gagas Energi Indonesia yang yang memasok kebutuhan gas untuk kendaraan berbahan bakar gas di 7 provinsi di Indonesia. Selain itu, sudah membangun dan mengelola sebanyak 14 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), 3 MRU, dan 4 SPBG yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk menyediakan kebutuhan bahan bakar gas kendaraan.
Adapun, jenis gas yang dipasok untuk kendaraan yakni Compressed Natural Gas (CNG). Kendaraan yang memanfaatkan gas dari Gagas Eenrgi per harinya terhitung mencapai 2.454 kendaraan termasuk mobil, bajaj, dan bus berbahan bakar gas.
Ditanya kendala di lapangan, Dian mengatakan, kendala di lapangan yang membuat pemain di industri CNG masih minim di Tanah Air, yakni:
- Peralatan CNG yang mahal dan masih impor
- Regulasi terkait CNG yang belum menyeluruh dari hulu ke hilir dibandingkan dengan LPG. Soal regulasi menyeluruh ini menjadi penting untuk memberikan kepastian kepada investor untuk masuk ke bisnis ini.
- Bisnis CNG yang mempunyai spesifikasi teknis tertentu dan spesific menyebabkan iklim bisnis CNG kategori resiko tinggi dan perbankan enggan membiayai.
- Komitmen dan konsistensi pemerintah dalam hal mendorong penggunaan CNG untuk trasportasi terkait dengan fokus pemerintah ke kendaraan listrik.
- Jumlah SPBG dan CNG Station sebagai fasilitas pengisian CNG yang belum mencakup banyak area
“Saat ini belum ada regulasi yang mengatur rinci standar besaran harga beli CNG di end user atau di pelanggan, sebagaimana dilakukan pada LPG. Besaran harga CNG di pelangga tergantung dari jarak dari CNG station dan besaran volume CNG-nya,” kata Dian.
Lokasi SPBG yang belum tersebar merata juga membuat sulitnya membuat standar harga jual di pelanggan, karena jarak tempuh pengiriman yang berbeda-beda.
Lebih lanjut Dian mengatakan, penggunaan CNG terbukti memberikan efesiensi untuk pelanggan minimal sebesar 15% dibandingkan LPG yang disebabkan:
- Harga gas pipa sumbernya di Indonesia atau tidak impor beda dg LPG yang sebagian besar impor.
- Efektivitas LPG hanya 95% karena berbentuk cair
Menggunakan CNG menjadi sangat tergantung jauh dekatnya transportasi, karena jumlah SPBG atau CNG Station yang terbatas dan belum merata untuk banyak daerah serta jumlah volume CNG yang di gunakan juga menjadi faktor penentuan harga CNG di pelanggan
Yang diharapkan pelaku bisnis CNG,
- Pengurangan biaya impor untuk peralatan CNG dan turunannya
- Harga gas pipa dari produsen gas atau K3S dalam bentuk rupiah (Rp) bukan dalam USD.
- Pembangunan lebih banyak SPBG yang peruntukannya khusus untuk industri, dan merata di banyak daerah
- Dukungan untuk memasifkan penggunaan CNG untuk transportasi
- Mendorong produsen mobil di Indonesia untuk memproduksi mobil berbahan bakar CNG
- Pembebasan ganjil genap untuk mobil yang menggunakan CNG.
- Komitmen dan konsistensi pemerintah dalam penggunaan CNG untuk transportasi selain mobil listrik.
Dikatakan, investor diyakini sangat tertarik dengan usaha CNG jika apa yang di harapkan sesuai dengan point 7 di jalankan (komitmen dan konsistensi pemerintah dalam penggunaan CNG untuk transportasi selain mobil listrik)
Ditanya apa keuntungannya menggunakan CNG, Tentang ini Dian mengatakan;
Pertama. Bahan baku CNG yaitu gas pipa tidak import otomatis membantu pengurangan import LPG atau bahan bakar minyak yang masih impor. Kedua. Lebih hemat 10-20% jika dibandingkan dengan LPG atau solar industry.Ketiga. Salah satu green energy yang ramah lingkungan. Keempat. Lebih aman, karena kandungan CNG berupa gas metan lebih ringan dari udara, kebocoran gas akan mudah terurai ke udara
Kelima, harga lebih murah dan lebih stabil, karena harga CNG tidak terpengaruh harga minyak, dan Indonesia memiliki kandungan gas alam yang melimpah sehingga bisa menghemat devisa dan biaya subsidi pemerintah.
Bertolak pada kenyataan inilah, dia mengatakan, penggunaan gas bumi (CNG) dapat menjadi pengganti LPG dan BBM yang masih impor. Untuk membantu pengurangan LPG subsidi pemerintah dapat memasifkan pemamfaatan gas bumi dengan memperbanyak infrasrtuktur pipa gas ke rumah tangga.
Sedangkan pemanfaatan gas di wilayah yang masih jauh dari pipa bisa menggunakan CNG dan dengan volume yang lebih besar bisa menggunakan LNG terutama untuk pasar yang berada di kepulauan.
Dukungan Pemerintah
Di sisi lain, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) senantiasa mendorong peningkatan pemanfaatan gas bumi sebagai transisi menuju energi bersih, termasuk pemanfaatan Compressed Natural Gas (CNG) untuk industri dan transportasi.
Anggota Komite BPH Migas Wahyudi Anas menyampaikan, Pemerintah terbuka menerima masukan dari stakeholder untuk mendukung program transisi energi. Hal ini diperlukan untuk mempersiapkan model yang dapat mengakomodir seluruh pihak dalam pemanfaatan gas bumi terutama CNG.
“Pemerintah perlu hadir dalam menetapkan harga jual gas bumi di masing-masing wilayah. Kita dorong untuk substitusi pemanfaatan energi ke gas bumi,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Implementasi Pemanfaatan Gas Bumi CNG untuk Sektor Industri dan Transportasi yang tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), di Gedung Dewan Energi Nasional (DEN), Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Untuk itu menurutnya, diperlukan peta jalan pengembangan transportasi gas di Indonesia guna menjamin pasokan energi.
Sekretaris BPH Migas yang juga selaku Pelaksana Harian Direktur Gas Bumi BPH Migas Patuan Alfon S menambahkan, guna meningkatkan pemanfaatan gas bumi, sisi supply dan demand perlu diselaraskan.
“Pemetaan kawasan antara pengguna gas bumi harus disesuaikan dengan sumber gas yang ada,” ucapnya.
Sementara itu, Anggota DEN Eri Purnomohadi menyampaikan rapat ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi pelaksanaan kebijakan upaya optimalisasi bahan bakar gas untuk transportasi dan industri.
Untuk mendorong pemanfaatan gas bumi, dia mengusulkan agar penetrasi CNG pada daerah yang tidak ada pipa gas untuk terus ditingkatkan.
“Dengan pengaturan ini, diharapkan berdampak pada perluasan pembangunan infrastuktur CNG yang menghubungkan sumber pasokan gas dengan end-user atau konsumen pengguna,” ujarnya.
DEN mendorong pembentukan Tim Percepatan Pemanfaatan Gas Bumi yang beranggotakan Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perhubungan, serta para pemangku kepentingan terkait untuk menyusun program kerja quick win untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi terutama CNG.
Sedangkan pengamat energi Komaidi Notonegoro menekankan, secara umum bahwa CNG kaitannya dengan produksi gas di Indonesia masih terbesar di Asia.
“Kalau soal harga, CNG komersial tanpa subsidi yang sekarang dijual itu lebih murah dibandingkan dengan BBM dan LGV. LGV. CNG itu bukan barang baru kok, dari 1995 sudah dikembangkan, bahkan sudah memiliki 16 SPBG yang beroperasi. Nah, dari sini kan kelihatan bakal optimal penghematan subsidi BBM itu,” jelasnya.
Lebih jauh, diungkapkannya, bahwa dengan memanfaatkan CNG sebagai BBG ini, akan ada potensi untuk pengembangan infrastruktur pipeless melalui penyediaan mother atau daughter station. Dengan begitu dipastikan dapat menjangkau wilayah yang jauh dari fasilitas jaringan pipa.
“Secara teknis yang pertama dibutuhkan tentu pipanisasi, karena gas sifatnya harus didistribusikan melalui pipa. Sebenarnya ada teknologi distribusi yang canggih namun agak mahal,”tuturnya seraya menekankan LVG itu penggunaannya lebih diprioritaskan untuk rumah tangga ketimbang transportasi.
Sebagai pengganti bensin, solar, dan propana/LPG, orang dapat memanfaatkan gas alam terkompresi (CNG). CNG sering digunakan dalam truk pengangkut tugas berat karena aksesibilitasnya dan keramahan lingkungannya. Mesin pembakaran internal yang awalnya dirancang untuk bensin dan solar kini digunakan dengan CNG, dan diharapkan hal ini akan mendorong perluasan industri.
Sekarang tinggal bagaimana kita memanfaatkan CNG ini untuk kepentingan usaha. Baik industri, usaha hinga ke rumah tangga. Seperti halnya di Jatim yang mengalami kelebihan gas. Ini harus dicarikan jalan keluar, karena cukup banyak industry dan usaha lainnya yang membutuhkan gas, tetapi tidak bisa menikmati karena ketiadaan pipa. Nah… di sinilah jawabnya, CNG.*