Jawa Timur mengalami oversupplay gas. Hanya sayangnya, kelebihan pasokan gas akan dinikmati provinsi lain, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di sisi lain sejumlah industri “berteriak” untuk mendapatkan pasokan gas sebagai bahan bakar untuk menggantikan solar dan lainnya. Mengapa sejumlah industri tidak mendapat pasokan gas? Ini semua dikarenakan tiadanya pipa distribusi untuk mengalirkan gas dari pipa transmisi ke pabrik yang membutuhkan. Lalu bagaimana solusinya? DPRD Jatim berharap agar pembangunan infrastrukut menjadi jawaban untuk memenuhi permintaan gas oleh sejumlah industri di Jatim.
Melimpahnya gas di Jatim memang sudah sepatutnya juga dapat dinikmati oleh masyarakat provinsi ini. Masak seperti pepatah “Bagai anak ayam mati di lumbung padi”. Di sini bukan bicara ego pribadi, tetapi setidaknya karena sumber gas yang melimpah itu berada di Jatim, ya industrinya harus tercukupi kebutuhan gas-nya, karena memang peroduksi gas di Jatim melimpah.
Berdasarkan proyeksi yang disampaikan SKK Migas, sejumlah wilayah kerja (WK) gas di JawaTimur bakal sampai pada titik puncak produksi pada rentang tahun 2024 hingga 2026 mendatang. Saat itu, kondisi pasokan gas berlebih atau oversupply di wilayah Jawa Timur diperkirakan mencapai 200 MMscfd.
Pasokan berlebih itu diidentifikasi berasal dari sejumlah lapangan prospektif di antaranya Jimbaran Tiung Biru (sekitar 192 MMscfd), HCML Sampang (sekitar 100 MMscfd), Medco Paus Biru (sekitar 30 MMscfd), PCK2L Bukit Panjang Sampang (sekitar 50 MMscfd), Energi Mineral LanggengSumenep (sekitar 30 MMscfd) dan MGA Utama Energi Sumenep (sekitar 40 MMscfd dan 7.000 BOPD).
Sebagai contoh, produksi gas dari proyek strategis nasional (PSN) Jambaran Tiung Biru (JTB) saat ini berada pada kisaran 110 juta standar kaki kubik gas (MMscfd). Terdapat selisih yang cukup lebar dari kapasitas produksi yang berada di level 192 MMscfd.
Perseroan terpaksa menurunkan produksi dari lapangan JTB lantaran keterbatasan kemampuan serap dari sejumlah pembeli atau buyer terkontrak. Saat ini, secara operasi JTB sudah dapat menyalurkan 192 MMscfd. Namun, harus menurunkan kembali pasokannya karena keterbatasan market.
Kelebihan gas itu tidak bisa diserap oleh industri karena tidak adanya infrastruktur gas, padahal industri sangat membutuhkan lantaran harganya lebih murah dan ramah lingkungan. Pemanfaatan gas secara maksimal oleh industri ini sekaligus bisa mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jatim.
Yang menarik, ketika industri di Jatim kesulitan mendapatkan gas gegara minimnya infrastruktur gas tadi, ada kemungkinan kelebihan gas di Jatim itu justru akan dinikmati oleh industri di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat setelah tersambungnya infrastruktur gas yang dibangun di wilayah tersebut.
PT PGN Tbk (PGAS), Subholdig Gas Pertamina, menyebutkan, saat ini perusahaan tengah mengusahakan kelebihan pasokan gas di Jawa Timur akan dialokasikan ke Jawa Barat. Seperti diketahui, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meresmikan dimulainya konstruksi Jaringan Pipa Transmisi Gas Cirebon-Semarang (Cisem) Tahap II. Peresmian tersebut ditandai dengan prosesi Pengelasan Perdana (First Welding) pipa gas di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Senin (30/9/2024).
Rencana konstruksi jaringan pipa gas Cisem Tahap II yang direncanakan akan membentang dari Batang-Cirebon-Kandang Haur Timur memiliki panjang hingga lebih dari 200 kilo meter (km) atau lebih tepatnya sepanjang 245 km.Pipa yang digunakan untuk proyek yang tergolong dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut sepenuhnya diproduksi dalam negeri dengan nilai investasi mencapai Rp 2,7 triliun.
Sumber gas proyek Cisem II berasal dari Lapangan Jambaran Tiung Biru (JTB) dan Long Term Plan (LTP) yang berasal dari potensi seluruh WK yang ada di wilayah Jawa Timur (WK Agung dan WK Bulu). Sedangkan, penerima manfaat dari pembangunan proyek Cisem II adalah Kilang Balongan, berbagai industri di wilayah Jawa Barat, jargas rumah tangga, serta tambahan kebutuhan dari Pupuk Kujang.
Melimpah
Potensi gas bumi di wilayah Jatim memang akan terus melimpah. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat masih terdapat potensi tambahan produksi gas bumi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di wilayah ini.
Total potensi tambahan tersebut berasal dari KKKS Petronas Carigali Ketapang II Ltd. memiliki potensi dari Lapangan Bukit Panjang sekitar 50 MMscfd mulai tahun 2026 hingga 2033. Sedangkan, KKKS Husky-CNOOC Madura Ltd. memiliki potensi pengembangan 2 lapangan gas MDK dan MBH dengan kapasitas produksi 24 dan 20 MMscfd. KKKS Medco Sampang juga memiliki lapangan gas Paus Biru yang dapat berproduksi 30 MMscfd dan lapangan ENC yang dioperasikan KKKS EML juga siap dikembangkan dengan kapasitas sampai 30 MMscfd, serta KKKS Kris Energy juga siap mengembangkan lapangan Lengo dengan kapasitas sampai 100 MMscfd.
Sebelumnya SKK Migas melaporkan, angka oversupply gas di Jatim untuk tahun 2023 telah mencapai 173 MMscfd, posisi potensi lifting gas (sesuai WP&B) per Desember 2023 mencapai 747 MMscfd. Sedangkan serapan dari hilir seperti PLN hingga Petrokimia Gresik hanya 574 MMscfd. Bahkan berdasarkan proyeksi yang disampaikan SKK Migas, bila sejumlah wilayah kerja (WK) migas di Jawa Timur dan Jawa Tengah jadi mengembangkan temuan lapangan gasnya maka potensi produksi gas bakal naik terus sampai titik puncak produksi pada rentang tahun 2030.
Saat ini di Semester I tahun 2024, kondisi pasokan gas berlebih atau oversupply di Jatim dan Jateng masih tidak banyak berubah mengingat pada kuartal I Tahun 2024 serapan gas rata-rata masih 557 MMscfd.
Jatim mempunyai potensi besar gas yang hingga kini belum optimal dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Tahun 2023 potensi Lifting gas Jatim dan Jateng kisaran 750 MMscfd, sedangkan serapannya rata-rata hanya 557 MMscfd. Jadi masih ada kelebihan gas sekitar 170 MMscfd. Sampai saat ini belum ada penambahan pembeli gas yang signifikan, sehingga rencana pengembangan lapangan gas lainnya menjadi tertahan karena belum ada buyernya.
Infrastruktur Mendesak
Desakan untuk menghadirkan infrastruktur pipa yang menghubungkian gas dari pipa utama ke sejumlah industri di Jatim cukup banyak disurakan. “Teriakan” yang paling nyaring sudah barang tentu berasal dari kalangan industri sendiri yang selama ini membutuhkan gas. “Kalau melihat kenyataan seperti ini, dimana di saat produksi gas di Jatim melimpah, tetapi terkendala oleh minimnya infrastruktur untuk menyalurkan gas, maka kebutuhan infrastruktur benar-benar mendesak,” kata Musyafak Rouf, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jatim periode 2024-2029.
Memang, semua kembali kepada stakeholder. Sejauh mana mereka cepat membangun infrastruktur agar semua produksi gas tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kalau hal ini bisa terealisasi, maka akan berdampak positif kepada perekonomian masyarakat Jatim. Mengapa? Karena harga gas yang lebih murah diban ding solar industri misalnya
Andai gas yang diekspor dibuat kebutuhan dalam negeri, seperti kebutuhan gas rumahan (jargas), restoran maupun hotel hingga industri, maka kita akan lebih berhemat dengan mengurangi impor dan subsidi LPG karena harga gas lebih murah dibandingkan LPG.
Apalagi bila industri yang saat ini menggunakan BBM bisa kita ganti ke gas, maka akan terjadi pengurangan impor minyak yang sangat signifikan. Ini harus menjadi pemikiran kita semua, agar gas yang diproduksi di dalam negeri dapat mengurangi kebutuhan terhadap impor.
Hal senada juga dikatakan Hj. Dra. Dewanti Rumpoko, M.Si. dari Komisi D, DPRD Jatim. “Apa yang terjadi di Jatim ini memang sudah selayaknya mendapat perhatian kita semua, yakni melimpahnya gas, sementara sejumlah industri tak bisa menikmati. Saya setuju kalau jawaban semua ini, yakni tersedianya infrastrukur. Memang tak mudah, karena dalam hal ini membutuhkan dana yang tak sedikit,” katanya.
Dewanti mengatakan, oversupplay gas di Jatim ini menjadi perhatiannya, yang baru dilantik sebagai Anggota DPRD Jatim. Dia berjanji untuk memperdalami persoalan ini, sehingga membawa suasana positif bagi perekonomian di Jatim.
“Saya akan mendalami terlebih dahulu persoalan ini. Saya akan berkoordinasi dengan Dinas ESDM Jatim. Intinya saya setuju akan perlunya infrastruktur itu, karena sejumlah industri membutuhkan gas untuk lebih efisiensi,” kata Dewanti.
Gas di Jatim 100% untuk domestik.Tidak seperti di daerah lainnya yang banyak diekspor. Guna mencapai kemandirian energi khususnya di Jatim perlu penyaluran yang optimal, untuk membantu penyaluran energi yang lebih efisian. Langkah cepat untuk memenuhi kebutuhan gas oleh industri maka kebutahn gas itui bias dalam bentuk CNG, sehingga gas lebih banyak terserap. Dengan banyaknya penyerapan tersebut supaya menaikkan produksi gas Jatim lebih mudah lagi. Kalau tak ada yang menyerap, dipastikan tak ada penambahan produksi. Kalau harga CNG, tergantuing jarak dan volumenya.Misalnya pengiriman CNG dari Surabaya ke Bali, harganya termahal kisaran 10% hingga 15% lebih murah dibanding LPG. Kalau Surabaya – Mojokerto, harganya bisa lebih 30% lebih murah.
Sementara itu, Rendy H., Kabid Energi Dinas ESDM Jatim bersepakat dengan DPRD Jatim bahwasannya ketersediaan gas untuk industri yang membutuhkan gas harus menjadi perhatian kita semua.
”Saya bersepakat dengan DPRD Jatim bahwasanya infrastruktur menjadi kata kunci penting agar sejumlah industri yang membutuhkan gas itu benar-benar bias ‘menikmatinya,” kata Rendy.
Secara garis besar, oversuplay gas di Jatim, kata Rendy, jalan keluarnya:
A.Membangun infrastruktur layanan pengolahan gas berupa Compressed Natural Gas (CNG) dan Liquified Natural Gas (LNG), yang selanjutnya dapat dialirkan ke industri yang membutuhkan sesuai permintaan / kawasan / sentra industri.
B.Membangun infrastruktur Gas Bumi untuk pengguna rumah tangga, hotel dan restoran hingga industri. Utamanya kota besar dan kota industri pariwisata seperti Surabaya, Batu, Malang dan kota-kota lainnya.
Rendy mengatakan, sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 tahun 2018 tentang pengusahaan gas bumi pada kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi, pada pasal 8 menyebutkan, untuk percepatan pembangunan infrastruktur Gas Bumi, Menteri dengan pertimbangan Badan Pengatur dapat memberikan penugasan kepada BUMN untuk menjalankan usaha di bidang Gas Bumi untuk membangun dan mengoperasikan Ruas Transmisi, Wilayah Jaringan Distribusi, dan/atau Wilayah Niaga Tertentu, maka BUMN dapat bekerjasama dengan BUMD terkait pembangunan infrastruktur perpipaan yang membutuhkan dana yang besar serta buyer yang sedikit dikarenakan belum terbangunnya infrastruktur yang ada di industry untuk mengolah gas.
Rendy mengatakan, menunggu pembangunan pipa infrastrutur mungkin lama. Karena itu, membangun fasilitas usaha niaga Gas Bumi dalam bentuk Compressed Natural Gas (CNG) dan Liquified Natural Gas (LNG) mungkin menjadi langkah awal untuk menyalurkan gas ke industri.
Sebagai bahan pertimbangan saat ini di wilayah Jatim tercatat 28 Wilayah Kerja migas. Rinciannya, delapan WK statusnya eksplorasi, 17 WK produksi dan dua WK berstatus pengembangan. Pada tahun 2024 sampai dengan Maret untuk produksi minyak bumi dan kondensat sebesar 172,227 BOPD dan 734,07 MMscfd. Jawa Timur menduduki peringat ke-3 merupakan daerah penghasil Migas yang besar setelah Riau dan Kalimantan Timur. Potensi Migas yang besar di Jawa Timur ini merupakan suatu sumber pasokan energi yang mendukung peningkatan pertumbuhan perekononomian di Jawa Timur, baik untuk kegiatan industri, pembangkitan, rumah tangga dan lain-lain.Adv