Belasan bocah berseragam olahraga merah dipandu kuning terlihat suka cita berkumpul di sebuah pekarangan bermain yang cukup luas. Anak-anak dari Kelompok Bermain Al Abror Sidoarjo itu tengah sibuk melakukan permainan tradisional. Sebagian anak perempuan bermain dakon, sementara yang laki-laki ada yang beradu gasing dan ketrampilan memutar daun ketela pohon.
Teriakan dan celotehan terdengar nyaring sepanjang mereka memainkan permainan tradisional tersebut. Terutama saat anak-anak itu bermain di kolam. Mereka terlihat begitu menikmati permainan itu, meski airnya bercampur tanah alias agak kotor.
Suasana itulah yang selalu terlihat di Dusun Bendet, Desa Pagerngumbuk, Wonoayu, Sidoarjo, Jawa Timur, yang merupakan markas Kampung Lali Gadget (KLG). Tempat tersebut sehari-hari telah jadi jujukan anak-anak sekitar desa setempat untuk bermain.
“Mereka ada yang datang sendiri. Tapi ada juga yang diantar orangtuanya. Bahkan kini setiap minggu saya dijemput anak-anak diajak bermain,” kata pendiri KLG, Achmad Irfandi ditemui, di sela acara Press Tour PLN UID Jatim ke KLG, Rabu (4/12/2024).
Seperti diketahui KLG ini merupakan salah satu program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) PLN lewat PLN Peduli. Sejak 2024, PLN Peduli berkolaborasi dengan KLG untuk revitalisasi fasilitas bermain, pendopo baca, dan klinik kecanduan gadget.
KLG sendiri didirikan sejak tahun 2018. Hal itu berangkat dari keresahan Irfandi setelah melihat anak-anak di desanya kecanduan gadget atau bermain HP. Jiwanya makin tergerak setelah menyaksikan berita di sebuah televisi kalau banyak anak masuk rumah sakit jiwa karena kecanduan gadget.
Awalnya, cerita Irfandi, dirinya dan sejumlah pemuda di desanya membuat kegiatan literasi berupa mendongeng dan mewarnai untuk mengatasi masalah tersebut. Kerja kerasnya itu, akhirnya berhasil mendatangkan sekitar 45 anak dari tiga sekolah dasar di desanya.
Tak ingin berhenti sampai di situ ia tertantang membuat kegiatan lanjutan yang bisa menarik lebih banyak peserta.
“Dari situlah tiba-tiba muncul ide bagaimana menawarkan permainan tradisional,” kata pria yang mengaku masih bujangan itu.
Ide ini muncul dari pria yang kini menginjak usia 31 tahun tersebut, setelah melihat anak-anak sekarang banyak yang tidak tahu jenis permainan tradisional, lantaran semenjak lahir tidak pernah dikenalkan. Akhirnya mereka memilih bermiain gadget karena tidak ada pilihan. Sampai tingkat kecanduan
“Mereka lahir sudah ada internet dan HP,” kata jebolan Fakultas Pendidikan dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Ia memberi awal nama programnya “Dolanan Tonpo Gadget”. Kegiatan itu digelar di pekarangan belakang rumah sang tokoh inspiratif ini. Semakin tahun pesertanya semakin banyak. Selain diikuti siswa di tiga sekolah dasar di desanya, kini peserta datang dari kampung lain karena mengetahui publikasi di media sosial.
Berkaca pada kegiatan itu, Irfandi dan volunteer (relawan) sepakat mengganti nama menjadi KLG. Kegiatan ketiga yang digelar dua bulan kemudian menjadi titik balik. Pesertanya nyaris mencapai 500 anak dengan 100 volunteer. “Sebelumnya kami buka open recruitment. Siapa pun boleh bantu, baik donasi atau menjadi volunteer,” kata dia.
Karena sambutan yang luar biasa, mendorong Irfandi dan volunteer memutuskan merutinkan kegiatan menjadi dua bulan sekali. Kegiatan tersebut akhirnya dilaksanakan sampai sembilan kali sebelum akhirnya berhenti karena ‘bencana’ pandemi Covid-19.
Di tengah masa pandemi yang penuh ketidakpastian, Irfandi setiap akhir pekan memulai kembali mengumpulkan secara terbatas anak-anak di sekitar rumahnya. Sembari mengaktifkan kegiatan, Irfandi berupaya agar kegiatan yang dilakukan KLG tidak bergantung pada bantuan dari donatur.
“Jadi kami berpikir harus punya otoritas mandiri,” cerita dengan semangat.
Berbayar
Akhirnya, pada 2020, dibentuklah Yayasan Kampung Lali Gadget. Atas saran dan masukan seorang teman serta orangtua peserta, diputuskan kegiatan KLG harus berbayar. Namun anak lokal sekitar desa tetap free. “Istilahnya subsidi silang,” ujarnya.
Yayasan KLG, dipenuhi beragam alat permainan tradisional yang lekat sekali dengan anak-anak. Beragam permainan tradisional yang dipajang itu sebagai penyeimbang permainan moderen (gadget).
“Saya ingin lebih memberi kesempatan anak-anak bermain dan punya pilihan permainan. Mereka kecanduan main game itu karena tidak punya pengetahuan soal permainan, tidak ada yang ngajak,” tandasnya.
Anak-anak yang datang akan diajak bermain secara tematik dan berbeda-beda setiap akhir pekan. Tentu dengan permainan berbahan alam. Seperti egrang, klompen tali, klompen panjang, gasing, yoyo, dan sebagainya. Misal minggu ini bermain dengan daun, minggu depannya batang, batu, air, udara angin, kerikil, biji-bijian, buah-buahan, tangkap lele, main lumpur, main sawah, dan seterusnya.
Setelah empat tahun berjalan, Irfan mengaku, perkembangan Yayasan KLG di luar biasa. Semakin banyak anak-anak yang tertarik untuk menghabiskan waktu akhir pekan di tempatnya, termasuk beberapa sekolah yang ingin bekerjasama untuk pembelajaran siswa. Bahkan aktris Luna Maya turut berkunjung dan bermain bersama anak-anak di Yayasan KLG Februari 2022 lalu.
Sementara uang dari peserta dibuat untuk operasional, mulai dari sewa lahan, pengadaan properti dan bahan cendera mata mainan hingga membayar volunteer tetap. Tak berhenti sampai di situ, guna menunjang kegiatan, dengan merogoh uang pribadi dari jualan udeng pacul gowang khas Sidoarjo serta bantuan beberapa teman dan donator, Irfandi membangun pendopo KLG pada 2021. Pendopo seluas 12 x 10 meter tersebut berdiri persis di depan rumah orangtua Irfandi.
Meski KLG kini berbayar, masyarakat tetap menyambut dengan baik, terutama lembaga pendidikan, baik di Sidoarjo maupun di luar Sidoarjo. Awalnya setiap anak atau siswa membayar Rp 5.000. Namun kini naik menjadi Rp 35 ribu.
“Pemasukan yang paling besar dari sekolah-sekolah yang datang ke sini. Dan besar kecilnya pembayaran itu bergantung paket permainan yang dipilih,” ujarnya.
Lantaran terbukti cukup berdampak pada anak-anak kecanduan gadget, Irfandi berharap, desa-desa lain bisa mereplikasi apa yang dilakukan KLG. Alasannya, kasus kecanduan gadget terjadi di semua tempat. “Bayangkan di setiap desa ada ruang-ruang bermain seperti Kampung Lali Gadget. Kahn bisa membantu mengatasi masalah sosial anak ini” katanya.
Ia menyebutkan, sudah ada tiga daerah yang mencontoh dengan branding berbeda. Ketiga daerah itu, yakni Probolinggo, Jawa Timur; Demak, Jawa Tengah dan Tangerang Selatan, Banten. Dalam waktu dekat menyusul Pasuruan.
“Kami sudah membuat modul, tinggal mendetailkan sampai ke bentuk permainan,” katanya.
Ikhtiar yang dilakukan Irfandi mengatasi kecanduan gadget lewat permainan tradisional diganjar penghargaan oleh pemerintah daerah. Secara berturut-turut ia dinobatkan sebagai Pemuda Pelopor Provinsi Jawa Timur Bidang Pendidikan pada 2019 dan 2020. Atas capaiannya itu, KLG kini jadi aset sekaligus prioritas desa dan pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
Rintis Sekolah Alam
Ke depan, dia berencana membuat lembaga pendidikan non formal bebasis kampung, permainan tradisional. Tapi untuk mencapai itu, Irfan mengaku masih sedang mempersiapkan personel. Sementara kini, baru ada sekitar 10 orang terdiri dari pengurus Yayasan KLG serta warga sekitar. “Sekolah alam kan di mana-mana terkenal mahal. Saya ingin buat sekolah alam rakyat yang murah. Tapi SDM kita masih minim sekali. Kita perlu menambah itu,” katanya.
Ia berharap, dengan ini bisa menolong pertumbuhan dan perkembangan anak-anak menjadi generasi penerus yang tidak lupa budaya, sadar akan sopan santun, dan berbudi pekerti.
Di tempat sama, General Manager PLN Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Timur, Ahmad Mustaqir mengatakan, KLG ini termasuk program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) sebagai bentuk keperdulian PLN tak hanya bertanggung jawab melistriki pelanggan, tapi juga memberdayakan masyarakat di sekitar KLG.
“Ini tahun pertama kita masuk,” katanya.
Dimana tujuan pertama, kata Ahmad, memberikan wadah kepada anak-anak sekolah yang masih berusia TK sampai SD untuk mengurangi interaksi mereka dengan gadget dengan mmeberikan alternatif permainan tradisional. Selanjutnya, tujuan kedua memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar.
“Ini ada sekitar 50 KK yang terdampak baik dalam bentuk berjualan di sini hingga menjadi petugas KLG,” katanya.
Melihat dampak positif yang dirasakan dengan keberadaan KLG, Ahmad menjanjikan, pihaknya akan melakukan pendampingan sampai tiga tahun (2024-2026).agk