Mengokohkan Transisi Energi yang Masih ‘Setengah Hati’

oleh -355 views

Krisis energi dunia yang terjadi saat ini semestinya bisa menjadi peluang sekaligus mengafirmasi komitmen transisi dan investasi menuju energi bersih di Tanah Air. Apalagi Indonesia memiliki potensi besar energi baru dan terbarukan (EBT). Namun nyatanya pemanfaatan kapasitas EBT masih sangat kecil.

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat hingga kini pemanfaatan EBT baru 0,32% dari total potensi 3.686 gigawatt (GW) atau hanya setara dengan 11.597 megawatt (MW). Dimana kontribusi dari energi surya sebesar 217 MW dari potensi 3.295 GW, hidro 6.649 MW dari potensi 95 GW, bioenergi 2.285 MW dari potensi 57 GW, energi angin 154 MW dari potensi 155 GW, panas bumi 2.293 MW dari potensi 24 GW dan 0 MW dari potensi 60 GW.

“Padahal kita memiliki sumber daya EBT yang besar, bervariasi dan tersebar. Ini yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama bagaimana ke depan bisa terus meningkat kapasitas EBT,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam acara Pelatihan Media bertema “ Transisi Energi, Potensi, Bisnis Proses dan Outlook”, Sabtu – Minggu (23-24/7/2022).

Dadan menyebutkan, EBT berbasis air atau hidro misalnya, potensinya membentang di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kaltara, NAD, Sumbar, Sumut, dan Papua. EBT berbasis surya, juga tersebar khususnya di NTT, Kalbar, dan Riau, yang memiliki radiasi lebih tinggi.

Adapun, EBT berbasis angin (>6 m/s), potensi utamanya terdapat di NTT, Kalsel, Jabar, Sulsel, NAD dan Papua. EBT berbasis energi laut terutama di Maluku, NTT, NTB, dan Bali. Sementara itu, EBT panas bumi, potensinya tersebar di kawasan ring of fire meliputi Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. “ Jadi ini sebagai bekal kita untuk menuju transisi energi secara berkelanjutan. Sumber-sumber energi ini harus dimanfaatkan agar bisa menurunkan emisi CO2 yang sudah menjadi komitmen kita bersama, “ kata Dadan.

Apalagi saat ini sumber energi fosil yang dimiliki Indonesia sudah berkurang dan diperlukan transisi energi menjadi sumber energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia. Pemerintah juga sudah menetapkan target-target besar di sektor energi terbarukan, yakni penurunan emisi karbon sebesar 29 persen pada tahun 2030 dengan upaya sendiri, atau mencapai 51% dengan dukungan komunitas internasional.

Upaya menurunkan CO2 juga sudah menjadi catatan manis bagi Pemerintah di tahun 2021, dengan penurunan sebesar 69,5 juta ton CO2 atau melebihi target sebesar 67 juta ton CO2. Sedangkan pada tahun 2022 ditargetkan penurunan CO2 sebesar 91 juta ton. Hal ini sejalan dengan realisasi bauran EBT pembangkit listrik yang melebihi target, yaitu 13,5 persen dari target 12,9 persen.”Aksi mitigasi yang menyumbang reduksi emisi paling besar antara lain implementasi EBT, aplikasi efisiensi energi dan penerapan bahan bakar rendah karbon (gas alam),” katanya.

Selain itu, dilakukan program early retirement untuk pembangkit- pembangkit fosil yang usianya sudah lanjut. Kemudian untuk meningkatkan konsumsi listrik, dilakukan konversi kompor gas menjadi kompor listrik dan konversi kendaraan berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik. “Ini mengingat konsumsi listrik kita tergolong masih cukup rendah dibanding beberapa negara di ASEAN, seperti Malaysia,” ujar Dadan.

Adapun terkait tambahan pembangkit EBT di tahun 2021 di antaranya berasal dari PLTA Poso Peaker sebesar 260 MW, 3 unit PLTP sebesar 146,2 MW, PLTA Malea sebesar 90 MW, PLT Bioenergi sebesar 16,5 MW , 18 unit PLTM sebesar 111,25 MW, serta PLTS sebesar 26,08 MW. “Untuk tahun 2022, ditargetkan kapasitas pembangkit EBT meningkat menjadi 11.791 MW,” kata Dadan.

Secara garis besar, dalam Peta Jalan Transisi Energi 2021—2030 disebutkan pemerintah menargetkan pembangunan pembangkit listrik EBT mencapai 20,9 GW, sedangkan PLTS atap sebesar 3,6 GW. Pembangunan PLTS akan masif pada 2031—2050 dengan jumlah total sebesar 279,2 GW.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal membenarkan, jika Indonesia memiliki hampir segala jenis energi terbarukan, potensinya sangat besar. Potensi EBT terbesar yang dimiki panas bumi dan Surya. Bahkan potensi panas bumi RI tercatat nomor dua setelah Amerika Serikat dengan potensi cadangan 25 Giga Watt (GW), atau setara 40 persen cadangan potensi panas bumi dunia.

“Melihat besarnya potensi tersebut diperlukan upaya terobosan untuk mengakselerasi pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit listrik hijau,” kata Moshe kepada Global Energi, Jumat (12/8/2022).

Kendala dan Tantangan EBT
Namun, di tengah makin tingginya harga komoditas fosil seperti minyak dan batubara serta makin meningkatnya kebutuhan dunia terhadap sumber energi fosil tersebut, bukan tidak mungkin bakal memperlambat rencana pengembangan EBT di Tanah Air ke depan. Selain faktor eksternal geopolitik, pengembangan EBT hingga kini masih menghadapi segudang tantangan internal.

Salah satunya karena kondisi energi lokal masih bergantung pada impor BBM. Impor terjadi lantaran produksi minyak mentah di dalam negeri terus menurun, sedangkan permintaan terus meningkat, sehingga beberapa daerah di Indonesia kerap mengalami krisis BBM.

Di saat saat yang sama, peralihan dari pemanfaatan energi fosil ke EBT sangatlah tidak mudah. Hal ini didorong beberapa masalah. Salah satunya faktor ketimpangan supply and demand. Padahal, pengembangan pembangkit listrik EBT dan non-listrik mempertimbangkan keseimbangan pasokan dan pertumbuhan permintaan.

Tantangan lain terkait masalah keekonomian dan teknologi. Inovasi teknologi dan good engineering practices di bidang EBT seharusnya dapat mendorong keamanan, keandalan sistem tenaga listrik dan harga yang semakin kompetitif. Selanjutnya, masalah infrastruktur. Ketersediaan infrastruktur pendukung dalam pembangunan EBT dikembangkan secara in-situ atau di tempat.

Selain itu tak kalah pentinya masalah pendanaan. Ini mengingat nilai investasi EBT yang tinggi menyebabkan investor mengalkulasi ulang. Disebutkan, dana transisi energi dalam setahun membutukan investasi tak kurang 5 miliar dollar AS atau setara Rp 71,5 triliun. Pada saat yang sama, risiko pengembangannya masih sangat tinggi.

Moshe mengatakan, masalah pendanaan, keekonomian yang kecil membuat proyek EBT kurang diminati. Harga jual sebagai salah satu faktornya. Dilemanya posisi PLN yang harus menyediakan energi dengan harga yang terjangkau. “Ini menyebabkan energi fosil masih menjadi favorit, termasuk di negara-negara barat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan energi yang murah, dan negara kita masih membutuhkan pertumbuhan yang tinggi,“ tandasnya.

Cuma, ia melihat, proses transisi energi dari fosil ke EBT yang sudah dijalankan pemerintah sudah bagus. Menurut Moshe, energi mix harus disesuaikan dengan daya beli masyarakat dan industri dan target pertumbuhan ekonomi nasional. Yang terpenting kebutuhan energi terpenuhi dengan harga yang terjangkau dan transisi harus bertahap menyesuaikan hal-hal tersebut di atas.

“Dengan teknologi pembangkit energi terbarukan yang akan semakin murah, pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadikan masyarakat lebih makmur dan daya beli yang meningkat kita bisa secara berkala meningkatkan porsi energi terbarukan,” jelasnya.

Pemerintah sendiri memang saat ini tengah menyiapkan kebijakan tarif untuk menarik investasi pembangkit EBT, yang akan terutang di dalam Peraturan Presiden (Perpres). Dadan menjelaskan, Perpres didesain untuk menciptakan iklim investasi dan masuknya inovasi. Di perpres tersebut, sebagian besar adalah diatur mengenai kebijakan harga atau tarif.

“Itu nanti menerapkan kebijakan harga patokan tertinggi. Kita tidak memberi harga sekian supaya menarik. Kami punya strategi dengan memberikan tarif tinggi di awal dan kemudian turun,” jelasnya.

Dengan menetapkan kebijakan tarif harga tinggi di awal ini, pemerintah meyakini akan menarik investor untuk berinvestasi. Karena membuat modal mereka kembali lebih cepat. “Kalau investasi, modal harus kembali dan ada return yang baik dari sisi itu. Kita secara overall, secara total akan memberikan manfaat, jadi harga tinggi di awal kemudian turun. Setelah dipastikan bahwa balik modal terjadi, selebihnya untuk pemeliharaan. Ini salah satunya yang sedang kita selesaikan,” jelas Dadan.

Meski banyak menghadapi tantangan, Kementerian ESDM tetap berkomitmen mengakselerasi pengembangan berbagai model EBT di sejumlah daerah dengan target pembangkitan daya hingga 39,94 GW pada 2030.Cara efektif yang masih mungkin dilakukan adalah meningkatkan kapasitas pembangkit EBT yang berasal dari PLTS skala besar, PLTS atap, PLTS terapung hingga PLTA. “Kami punya roadmap ini sampai 2030 dan diperkirakan target 4,68 GW untuk PLTS skala besar yang berasal dari Jamali, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi,” kata Dadan.

Selain PLTS skala besar, potensi pengembangan EBT yang relatif terjangkau dapat dilakukan melalui pengembangan PLTS atap dan PLTS terapung. Dua jenis pembangkit itu ditargetkan dapat menghasilkan daya listrik bersih masing-masing sebesar 3,61 GW dan 26,65 GW. “Banyak sekali potensi di gedung pemerintahan. Kalau masif hingga ke sektor bisnis, industri dan rumah tangga,” karanya.

Kementerian ESDM juga akan mengembangkan PLTA dari pemanfaatan 18 bendungan yang telah eksis milik Kementerian PUPR. Selain itu, instansi ini menginisiasi pengembangan lima lokasi PLTA dengan skema KPBU dan pengembangan pumped storage dengan potensi daya masing-masing 182,93 MW dan 424,32 MW.

Jadi Pemerintah harus bisa memastikan ekonomi akan tetap tumbuh, meski Indonesia dihadapkan pada tantangan transisi energi yang menuntut penggunaan energi bersih dan teknologi modern dalam sektor industri, transportasi, hingga pembangkit listrik. agung kusdyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.