Banyak upaya tengah dilakukan sekelompok warga untuk mewujudkan kemandirian energi di wilayahnya. Di antaranya yang sudah lama dirintis warga di sejumlah daerah, khususnya di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah berupa pemanfaatkan gas rawa untuk kebutuhan memasak sebagai pengganti gas elpiji. Bahkan kedua Pemprov tersebut kini aktif mendukung program kemandirian energi tersebut.
Sebut saja, di Desa Nguken Kecamatan Padangan Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Warga di desa ini sudah bertahun-tahun memanfaatkan gas rawa untuk kegiatan memasak. Sehingga warga tidak lagi harus bersusah payah berburu hingga mengeluarkan biaya untuk mendapatkan tabung gas elpiji ukuran tiga kilogram subsidi dari pemerintah itu.
Gas rawa di Desa Nguken ke dalamnya hanya enam meter dan tidak ada habisnya sampai sekarang. Suyadi, salah satu warga Desa Nguken menuturkan, sumber gas itu sudah ditemukan sejak tahun 1983.”Kebetulan pas saya bikin sumur kok keluar air bercampur gas. Dan saya manfaatkan. Kebetulan saya punya sedikit pengetahuan tentang kilang. Saya pernah bekerja di kilang Pertamina jadi punya sedikit pegalaman tentang pemanfaatan gas ini, ” cerita Suyadi ditemui Global Energi, beberapa waktu lalu.
Ternyata hampir setiap sumur air milik warga di Desa Nguken mengeluarkan gas. Kedalaman sumur masing-masing bevariasi. “Ada yang besar ada yang kecil. Ada yang enam meter sudah bisa mengeluarkan gas. Ada juga yang kedalaman hingga 12 meter juga tidak mengeluarkan gas,” tutur Lulus, warga Nguken lainnya.
Sebagian warga, telah memanfaatkan gas yang keluar dari perut bumi itu untuk memasak. Secara mandiri, mereka menyambungkan gas melalui instalasi sederhana dari rumah satu ke rumah lainnya. Ada sebagian lain, memanfaatkan gas untuk rumahnya sendiri. “Ada yang takut. Jika suatu saat terjadi hal berbahaya,” kata Lulus.
Jika keberadaan gas di desanya bisa dikelola dengan baik akan bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. “Keluarga saya sudah memanfaatkan gas ini, melalui instalasi sederhana dari rumah saudara,” kata putra perajin tempe Desa Nguken ini.
Hanya dengan kerodong plastik untuk menampung gas supaya tidak liar. Lalu dialirkan melalui instalasi sederhana, yakni pipa plastik yang menjulur sampai dapur rumah milik Kusnadi. Dengan intalasi sederhana itu, hinga sekarang ini belum pernah terjadi kebakaran atau ledakan yang membahayakan. “Alhamdulillah, sampai sekarang masih aman,” katanya.
Sementara itu, Kepala Desa Nguken, Arif Syaifudin tidak menampik kalau wilayahnya menyimpan potensi gas cukup besar. Terbukti, dengan banyaknya titik kemuculan gas pada sumur air milik warga yang ada di desanya. Saat ini, gas rawa tersebut dimanfaatkan warga sebagai bahan bakar memasak.
Dijelaskan, ada dua lokasi yang berpotensi menyimpan kandungan gas. “Di RT 1/1 yang sekarang dimanfaatkan warga secara manual, karena alat sumbangan dari Provinsi Jatim telah rusak. Lalu di RT 4/2, sumur tua peninggalan Belanda, di lokasi ini hanya satu orang yang memanfaatkannya,” kata Arif kepada Global Energi.
Ia mengaku, ada keinginan untuk memaksimalkan kandungan alam yang ada di desanya tersebut. Namun masih bingung dengan payung hukum pengelolaanya. “Untuk sumur peninggalan Belanda itu, kami tidak berani mengelolanya. Yang sekarang ini ingin kami kelola itu pada gas rawa-nya, yang sebelumnya mendapatkan alat separator gas dari Pemprov Jatim. Karena masih rancu soal payung hukum dan belum adanya serah terima, belum bisa dikelola dengan baik. Warga sekarang memanfaatkan dengan cara manual,” jelasnya.
Pemerintah Desa Nguken sudah mendapat bantuan instalasi gas rawa berupa alat separator (tabung gas) dan pipa dari Dinas ESDM Jawa Timur pada 2019. Bantuan dari Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur itu berasal dari APBD Provinsi Jawa Timur Tahun 2019 dengan pagu anggaran Rp 250 juta.
Namun pengamatan Global Energi dalam setahun terakhir instalasi gas rawa yang di Desa Nguken tidak berfungsi. Tidak ada perawatan sejak selesai dibangun tahun 2019. Tampak mangkrak, dua buah tabung pengumpul gas, satu kompressor dan satu unit pompa listrik, dilengkapi dengan instalasi pipa jenis PVC. Serta jaringan listrik prabayar yang saat ini dimanfaatkan untuk penerangan lingkungan.
“Sudah berhenti operasi sejak awal ada pandemi Covid tahun 2020 lalu sampai sekarang,” ujar Didik Setiawan, warga RT 1/ 1 Desa Nguken.
Saat difungsikan Desember 2019 lalu, gas rawa yang dialirkan melalui instalasi tersebut mampu mengaliri 39 rumah. “Sebenarnya sangat terbantu dengan adanya alat ini,” kata Didik.
Kalau sudah ada kejelasan perbaikan dan pengelolaan, menurut dia, dimungkinkan banyak rumah yang akan ikut memasang jaringan. “Kalau melihat secara kasat mata, ini bisa diperbaiki sendiri. Tapi kendalanya, belum ada kejelasan terkait penanggung jawab, serta kejelasannya,” katanya.
Padahal sejak adanya fasilitas tersebut, warga merasakan keberuntungan hampir tidak berhenti memasak. “Hampir 24 jam nonstop. Kita bisa tahu karena alatnya otomatis. Setiap hampir habis, alatnya pasti menyala. Dari pagi sampai pagi lagi pasti ada saja orang yang memakai,” katanya.
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Jatim Handoko Teguh Wibowo membenarkan, adanya kerusakan instalasi gas rawa di Nguken. “Tapi kompresornya sudah kami perbaiki Minggu lalu. Bahkan akan ditambah saluran penerimanya,” kata Handoko kepada Global Energi, Senin (30/8/2021). Handoko sendiri merupakan perancang instalasi gas rawa hibah dari ESDM Jatim di Desa Nguken.
Ia mengakui, lemahnya kelembagaan di desa menyebabkan terjadinya tak terawatnya peralatan. Harusnya ada pengelolal yang bertangungjawab. “ Kelembagaan harus dikuatkan. Saya usul agar dikelola oleh BUMDes dengan ditarik iuran untuk perawatan dan pengembangan, karena berkaitan dengan mesin yg punya umur teknis,” katanya.
Melihat manfaat besar gas rawa bagi kemandirian energi, Pemerintah Provinsi Jatim melalui Dinas Energi Sumber Daya Mineral Jatim kini tengah mengembangkan pemanfataan gas rawa di beberapa kabupaten. Salah satu yang tengah dieksplorasi potensi gas rawa di Kabupaten Jombang dan Kabupaten Mojokerto. Bahkan sudah diajukan anggaran sebesar Rp 100 juta untuk kegiatan eksplorasi tersebut.
“Selain itu Ngawi dan Madura juga memiliki potensi gas rawa yang bisa dikembangkan,” kata Handoko.
Potensi di Jateng
Sementara di Jawa Tengah salah satu desa yang memanfaatkan gas rawa ada di Desa Rajek, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Desa Rajek yang dihuni sekitar 750 kepala keluarga ini bisa ditempuh sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Purwodadi, Grobogan. Infrastruktur akses jalan desa cukup memadai dengan betonisasi.
Desa ini dikelilingi lahan persawahan yang subur. Mayoritas penduduk berprofesi sebagai buruh tani serta buruh bangunan. Seperti masyarakat umumnya, selama ini kompor gas dan LPG melon sudah menjadi fasilitas kebutuhan primer warga setempat. Namun, kini mereka tak membutuhkan gas melon lagi.
Adanya potensi gas rawa alam di Desa Rajek mendapat perhatihan pemerintah sehingga ditindaklanjuti pada 2013, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah menerjunkan tim ahli geologi untuk menggelar riset di Desa Rajek.
Di luar perkiraan, dari hasil penelitian mencatat ternyata kandungan gas alam melimpah ruah terpendam di tanah Desa Rajek. Secara ilmiah, ahli geologi yang diterjunkan menyebutkan gas alam di Desa Rajek itu sebagai gas rawa, yaitu gas alam yang bersemayam di kedalaman yang dangkal.
Di Desa Rajek, gas yang terbentuk dari fosil hewan dan tumbuhan itu ditemukan di kedalaman sekitar 30-40 meter. “ Jenisnya biogenik gas dan di kedalaman dangkal. Usia lebih muda dan bersih dibanding gas alam yang terpendam di kedalaman ratusan hingga ribuan meter. Kandungan metana (CH4) lebih banyak. Secara geologi, kami yakin jika dibor di kedalaman yang lebih dalam lagi, akan lebih banyak lagi kandungan gas alam yang tersimpan di Desa Rajek,” ungkap Handoko.
Selanjutnya pada tahun 2017, melalui bantuan anggaran dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, ia diminta fokus memanfaatkan gas alam tersebut untuk memberdayakan masyarakat. Sampai akhirnya, Handoko yang juga Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Jatim ini menelorkan gagasan mengalirkan gas rawa itu ke setiap rumah warga sebagai pengganti tabung gas melon. Lalu diciptakanlah teknologi tepat guna untuk pemanfaatan gas alam.
Dari tiga titik lokasi pengeboran, air yang mengandung gas rawa itu dialirkan melalui pipa atau pipanisasi menuju separator. Separator adalah tabung bertekanan dan bertemperatur tertentu yang berfungsi untuk memisahkan air dan gas. “Air kami buang dan gas kami alirkan melalui pipa ke kompor warga. Di selang pada kompor kami beri stop kran dan regulator untuk mengatur kestabilan gas,” tambah Sarmadi, teknisi pengelola gas rawa di Desa Rajek kepada Global Energi, Senin (30/8/2021).
Namun, lanjut dia, saat ini peralatan sepatornya mengalami kebocoran, sehingga pengaliran gas rawa mengalami gangguan. Akhirnya yang semula bisa dimanfaatkan hingga 30 KK kini hanya tinggal 7-8 KK yang bisa memanfaatkkan. Khususnya lokasi rumah warga yang dekat dengan separator. “Untuk perbaikan terus terang kami terkendala pendanaan,” katanya.
Padahal, kata Sarmadi, selama ini warga Desa Rajek sangat merasakan manfaatnya dengan adanya pengaliran gas rawa. Sebab tak lagi mengeluarkan biaya kebutuhan memasak, karena mereka mendapatkan gratis. “ Karena itu warga berharap bisa segera diperbaiki. Mereka pun bersedia untuk membantu pendaan perbaikannya,” katanya.
Potensi gas rawa di Jawa Tengah memang melimpah. Bahkan, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut sebaran potensi gas rawa cukup merata. Peta wilayah dan produksi gas rawa di beberapa daerah, seperti Sragen, Grobogan dan terakhir di Banjarnegara.
Khusus di Banjarnegara gas rawa ada di Desa Pegundang. Dimana baru diresmikan pemanfaatannya oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Tercatat sebanyak 25 warga Desa Pegundang menggunakan Biogenic Shallow Gas atau gas rawa untuk keperluan memasak.
Ganjar mengaku senang melihat Desa Pegundungan menunjukan kemandirian melalui pemanfaatan gas rawa. Dia menilai hal tersebut menjadi inspirasi bagi desa-desa lainnya untuk menjadi desa mandiri energi. “Di dalam tanah yang kita injak ini ternyata ada energi yang bisa kita manfaatkan. Di sini spirit desa mandiri energi bisa diwujudkan dan akan menginspirasi desa lainnya,” kata Ganjar saat meresmikan separator Biogenic Shallow Gas di Desa Pegundungan, Kecamatan Pejawaran, Rabu (18/8/2021).
Belum Dimanfaatkan Maksimal
Handoko menjelaskan, sampai saat ini beberapa rembesan gas dangkal di beberapa daerah di Indonesia belum semua diupayakan untuk dimanfaatkan secara maksimal sebagai alternatif energi. Gas-gas dangkal yang keluar pada umumnya berupa gas biogenic ( gas rawa ) yang terjebak dalam bentuk kantong-kantong reservoir yang diperkirakan cadangannya cukup untuk memenuhi kebutuhan energi disekitar lokasi rembesan gas (gas seepage).
Keberadaan gas rawa ini berpotensi untuk mensubstitusi bahan bakar LPG atau kayu bakar yang selama ini digunakan di sektor rumah tangga yaitu berupa kompor untuk memasak. Dari aspek lingkungan, penggunaan gas rawa diharapkan dapat mengurangi emisi karbon yang timbul akibat pembakaran kayu bakar dan berkurangnya penebangan pohon, sehingga alam lebih lestari.
Dijelaskan, asal muasal kejadian pembentukan gas alam dapat terbentuk baik secara biogenik dan thermogenik. Gas rawa digolongkan termasuk dalam gas biogenik yang terbentuk dari sisa organisme di rawa-rawa yang kemudian terawetkan dan terubah menjadi fasa gas. Komponen utama dari gas rawa adalah metana (CH4) yang memang sudah sangat umum ditemukan di mana saja di permukaan bumi ini.
Gas rawa, kata Handoko, merupakan gas hidrokarbon yang mudah terbakar, memiliki rantai carbon terpendek (C1) sehingga merupakan gas yang paling ringan, yaitu sekitar 0,7 lebih ringan dari udara, sehingga jika tersebar diudara akan langsung menguap naik ke atmosfir.
Namun demikian, jika digunakan sebagai sumber energi termasuk jenis bahan bakar yang ramah lingkungan, karena hasil pembakarannya mengeluarkan carbon dioksida (CO2) dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan jenis bahan bakar hidrokarbon lainnya.
Sedangkan gas termogenik terbentuk akibat tekanan dan temperatur bumi. Pada tempat yang sangat dangkal gas dapat terbentuk karena proses biologi yaitu aktifitas bakteri pengurai yang mengeluarkan gas dan inilah yang disebut gas rawa.
Kondisi geologi masa lampau berupa rawa-rawa dengan perselingan batuan dengan butiran halus dan kasar adalah tempat yang ideal sebagai lingkungan pembentukan gas rawa.
Pada kondisi seperti ini dan saat ini banyak yang sudah menjadi daratan, gas rawa bisa terjebak dalam kantong-kantong dengan dimensi pelamparan yang luas. Gas rawa yang yang terjebak di dalam reservoir yang dangkal bisa keluar secara alamiah karena proses geodinamika alam berupa pergerakan tanah yang menyebakan struktur jebakan gas rawa membuka kemudian gas rawa keluar sebagai rembesan gas (gas seepage). Sedangkan proses artificial untuk mengeluarkan gas rawa yaitu dengan cara pemboran dangkal yang menembus kantong-kantong gas.
Dasar Hukum
Handoko menjelaskan, gas rawa belum punya payung hukum atau legal standing. Padahal Indonesia sangat melimpah keterdapatannya. Pemerintah harus masif dan proaktif mencari terobosan agar daerah potensial memanfaatkan dan mengembangkan menuju kemandirian energi di level pedesaan.
Keunikan dan karakater gas rawa yang spesifik dan dianggap tidak ekonomis bila dikomersialisasi secara industri, menyebabkan tidak terjangkaunya oleh peraturan perundangundangan yang dikeluarkan pemerintah. Pemerintah menerbitkan dasar hukum dalam kegiatan perizinan usaha migas tertuang dalam Permen ESDM No 29 Tahun 2017 yaitu Pasal 1 ayat 2 dan ayat 3, seperti di bawah ini:
Pasal 1 ayat 2: Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi
Pasal 1 ayat 3: Minyak dan Gas Bumi Non-Konvensional yang selanjutnya disebut Migas Non-Konvensional adalah minyak dan gas bumi yang diusahakan dari reservoir tempat terbentuknya minyak dan gas bumi dengan permeabilitas yang rendah (low permeability), antara lain shale oil, shale gas, tight sand gas, gas metana batubara dan methane-hydrate, dengan menggunakan teknologi tertentu seperti fracturing
“Tinjauan hukum tentang Gas rawa dengan segala karakter dan keunikannya sangatlah berbeda dengan gas konvensional dan non konvensional yang telah dikembangkan,” katanya.
Berdasarkan kedalaman, gas rawa berkedalaman dangkal antara 50 hingga 100 m dan bertekanan rendah. Sedangkan gas konvensional dan non konvensional yang telah dikembangkan bisa berkedalaman mencapai ratusan hingga ribuan meter dan bertekanan tinggi.
Handoko menegaskan, gas rawa secara karakter geologi merupakan rezim baru sebagai alternatif energi gas non konvensional yang belum memiliki landasan hukum yang pasti.
Terkait tata kelola gas rawa, ia akui, tidak akan ekonomis bila dikerjakan perusahaan migas atau K3S. Pasalnya, bertekanan rendah dan bercadangan kecil, sehingga tidak layak untuk dikomersialisasi untuk skala industri besar.
Lantaran itu, lanjut dia, teknik eksplorasi yang sederhana dan tata cara produksi yang mudah dan relatif murah memungkinkan tata kelola gas rawa diserahkan kepada pemerintah daerah dengan sumber daya manusia yang dimilikinya. Pemerintah daerah yang sudah melakukan upaya ini adalah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan melakukan kegiatan studi dan eksplorasi hingga pembangunan Demplot infrastruktur distribusi gas rawa di beberapa desa.
Pengelolaan selanjutnya setelah infrastruktur terbangun adalah diserahkan kepada kelompok masyarakat mandiri energi untuk dikembangkan secara massal berdasarkan kemampuan atau hitungan cadangan gas termasuk pembiayaan dan managemen perawatannya juga diserahkan kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pihak BUMDes bisa bermitra dengan kontraktor lokal yang disupervisi oleh tenaga ahli untuk melakukan program lanjutan pembangunan dan pengembangan Gas Rawa.”Apabila semua desa yang mempunyai potensi gas rawa bisa dikembangkan seperti Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur saya yakin ketahanan energi di masyarakat pedesaan akan bisa terwujud,” katanya. agung kusdyanto, ahmad sampurno