Mencari Solusi Konkret Penyelesaian LPG 3 Kg

oleh -1 views
oleh

Terjadinya “kelangkaan” LPG 3 Kg beberapa waktu lalu, untuk kesekian kalinya mengingatkan kita. Terutama terkait dengan nilai subsidi yang terus membengkak. Sisi lainnya, LPG 3 Kg yang semestinya diperuntukkan untuk rakyat miskin, karena sarat subsidi, ternyata juga dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, sehingga konsumsinya dari tahun ke tahaun terus meningkat. Sampai kapan ini akan terus berlangsung. Dan hingga kapan kita bisa menyelesaikan masalah ini?

Kelangkaan LPG 3 kg (bersubsidi) beberapa waktu lalu, menjadi masalah yang cukup mengganggu masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu sumber energi utama untuk kebutuhan rumah tangga dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), kelangkaan ini menyebabkan berbagai kesulitan bagi masyarakat yang sangat bergantung pada gas tersebut untuk memasak. Hanya saja, beberapa tahun terakhir ini “menjadi” persoalan tersendiri, khususunya terkait beban APBN.

Dampak lainnya adalah terganggunya kegiatan UMKM, terutama yang bergerak di bidang kuliner dan industri rumahan. Banyak pelaku usaha kecil yang mengandalkan LPG 3 kg untuk menjalankan usaha mereka. Ketika gas langka dan harganya melonjak, ini tentu saja menambah beban biaya operasional mereka. Beberapa usaha bahkan terpaksa menghentikan operasionalnya karena kesulitan mendapatkan pasokan gas. Hal ini juga dapat berujung pada pengurangan lapangan pekerjaan di sektor UMKM, yang pada gilirannya akan memperburuk kondisi perekonomian masyarakat.

Selain itu, kelangkaan gas juga menimbulkan ketidakpastian dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang terbiasa dengan ketersediaan gas elpiji yang stabil kini merasa tertekan karena mereka tidak tahu kapan pasokan gas akan kembali normal. Ketergantungan pada gas elpiji 3 kg yang tinggi membuat mereka sangat bergantung pada kelancaran distribusi.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan realisasi anggaran untuk subsidi gas LPG 3 kg telah mencapai Rp 80,9 triliun per 24 Desember 2024. Dana Rp 80,9 triliun disalurkan untuk subsidi LPG 3 kg sebanyak 7,5 juta metrik ton, sedangkan da;lam negerio hanya mampu menyediakan sekitar 1 juta metrik ton. Dalam APBN 2025, anggaran untuk LPG 3 Kg sudah dinaikan dari tahun 2024 guna menjamin pelaksanaan subsidi. Pada APBN 2025, Badan Anggaran DPR bersama pemerintah telah menyepakati alokasi subsidi LPG 3 Kg sebesar Rp 87,6 triliun, lebih tinggi dari tahun pagu tahun 2024 sebesar Rp 85,6 triliun.

Dari tahun ke tahun, subsisi itu akan semakin memberatkan APBN kita. Apalah tak ada solusi untuk menyelesaikan hal ini. Apakah kita akan terus mene rus mengimpor bahan LPG 3 kg? Sementara produksi gas kita melimpah? Rasanya kita butuh keseriusan untuk menyelasikan masalah ini. Kita harus mengesampingkan berbagai kepentingan agar APBN semakin ringan.

Kelangkaan LPG 3 kg bersubsidi beberapa waktu lalu merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan pihak terkait. Penyebab kelangkaan ini bervariasi, mulai dari pengurangan kuota subsidi, perubahan kebijakan distribusi, hingga disparitas harga dengan gas non-subsidi. Dampaknya sangat terasa bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku UMKM. Oleh karena itu, penyesuaian kuota, pengawasan distribusi yang lebih ketat, dan peningkatan kesadaran masyarakat menjadi langkah-langkah penting yang harus diambil untuk mengatasi masalah ini. Dengan kebijakan yang tepat, diharapkan kelangkaan gas elpiji 3 kg dapat segera teratasi dan kebutuhan masyarakat akan energi dapat terpenuhi dengan lebih baik.

Bertolak pada kenyataan inilah, pemerintah dan pihak terkait perlu melakukan langkah-langkah strategis yang dapat mengatasi penyebab kelangkaan ini dan mengembalikan pasokan gas kepada masyarakat yang membutuhkan. Lebih penting lagi bagaimana, bahan baku yang sekitar 7 juta ton metric ton itu bisa dikurangi bahkan dihapus sama sekali, agar beban APBN semakain ringan.

Memang pemerintah dalam hal ini Kementrian ESDM akan mengambil langkah-langkah seperti akan membentuk Badan Pengawasan dan akan membangun pabrik yang mnemproduksi gas untuk LPG 3 kg. Kapan itu dilaksanakan? Jangan hanya sampai menjadi angin surga saja.

Bagaimana dengan langkah diversifikasi? Gas yang melimpah apakah tidak bisa untuk diversifikasi misalnya seperti CNG dan LNG. Gas CNG bisa dikemas. Memang perlu membangun infrastruktur untuk membangun penyaluran CNG dan LNG. Infrastruktur ini memang mahal, tetapi untuk jangka panjangnya kita akan untung.

Misal saja, biaya subsidi tiu selama 5-10 tahun diperuntukkan untuk membangun infrastruktur, kan kita bisa pada tahun ke-10 maksimal sudah mempunyai infrastruktur untuk penyaluran LNG dan LNG. Kalau ini dilakukan pada akhirnya kita mempounyai infrastruktur yang tangguh dan tidak lagi mengimpor gas LPG 3 kg. Tinggal bagaimana kita melaksanakan dan berhitung bisnis secara cermat.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.