Menuju energi bersih memang sudah dicanangkan di tingkat global. Menuju energi bersih berarti menuju energi ke energi baru terbarukan (EBT). Pertanyaannya, sejauhmana persiapan EBT untuk “menggantikan” energi fosil? Apalagi pergerakan EBT tidak semulus kita harapan. Karena itu, harus ada masa transisi dari energi fosil ke EBT.
Gas merupakan, emnergi yang paling tepat un tuk menjadi energy transisi. Selain stoknya memadahi, juga has lebih bersih lingkungan setidaknya bila dibandingkan dengan enegri fosil, minyak dan batubara. Seperti diketahui, penggunaan energi fosil seperti batubara dan minyak untuk pembangkit didalam negeri, nerupakan isu pokok terkait dengan energi bersih.
Kapasitas listrik nasional dapat ditingkatkan dengan pembangkit listrik berbasis gas yang ramah lingkungan sebelum pembangkit listrik energi terbarukan masuk dalam sistem kelistrikan nasional. Emisi yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik berbasis gas lebih rendah dibandingkan pembangkit berbasis batubara.
Memang kita bergarap dalam masa transisi ini atau sebelum pembangkit energi bersih terbarukan masuk, bisa diisi dulu dengan memanfaatkan gas. Emisi yang dikeluarkan dari PLTGU ini lebih rendah jika dibandingkan dengan yang memakai batubara kurang lebih setengahnya, Apalgi, membangun pembangkit yang ramah lingkungan merupakan wujud komitmen Indonesia terhadap energi bersih kepada dunia internasional dengan target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.
Indonesia sendiri akan berupaya mencapai target Net Zero Emission ditahun 2060, yang artinya akan ada 1,5 Giga Ton CO2 yang harus kita lenyapkan dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan pemanfaatan energi baru terbarukan yang kita ketahui semua. Kita memiliki sumber energi baru terbarukan yang bersih cukup besar dengan potensi yang mencapai ribuan gigawatt dan kita baru memanfaatkannya sedikit saat ini.
Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditetapkan melalui Perpres No 22/2017 menyebutkan bahwa EBT akan menyuplai energi primer minimal sebesar 23% pada 2025 dan menjadi 31,2% pada 2050. Hanya saja, capaian EBT hingga 2021 itu hanya kisran 11%. Upaya pemerintah dalam meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi nasional bukan berarti tanpa risiko. EBT itu sendiri memiliki biaya produksi (pembangkitan) yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil pada umumnya. Hal ini menimbulkan beberapa risiko, di antaranya risiko fiskal, risiko neraca, dan distorsi pasar.
Berdasarkan RUEN, porsi minyak dalam bauran energi Indonesia ditargetkan menurun dari 24,7% pada 2025 menjadi 19,5% pada 2050, tetapi secara volume konsumsinya masih mengalami peningkatan sekitar 111% dari 2,19 juta Barrel Oil Equivalent per Day (BOEPD) pada 2025 menjadi 4,62 juta BOPD pada 2050.
Di sisi lain, porsi gas ditargetkan meningkat dari 22,4% pada 2025 menjadi 24% pada 2050 dengan volume konsumsi diproyeksikan meningkat sekitar 171% dari 1,76 juta BOEPD pada 2025 menjadi 4,79 juta BOEPD pada 2050. Dengan kata lain, walaupun pemerintah menargetkan peningkatan porsi EBT dalam bauran energi Indonesia, secara volume konsumsi energi fosil masih terbilang besar. Sepanjang 2015 – 2021 saja, rata-rata subsidi yang dialokasikan sekitar Rp 122,7 triliun per tahun.
Pada saat itu, volume BBM yang disubsidi rata-rata sebesar 17,9 juta KL per tahun dan untuk LPG bersubsidi rata-rata sekitar 8,13 juta MT per tahun. Dengan perkiraan kebutuhan konsumsi energi fosil yang semakin besar (secara volume) tentunya akan lebih membebankan APBN.
Sementara itu, Indonesia juga saat ini masih memiliki gas yang potensinya cukup besar yang perlu diupayakan pemanfaatannya sebagai transisi energi dari fosil ke energi terbarukkan. Gas ini komoditas yang penting terutama untuk mendukung proses transisi energi dari energi fosil berat ke menuju medium kemudian ke zero.*